Kamis, 10 Desember 2009

ASKEP SINDROMA NEFROTIK

Sindroma Nefrotic (SN) adalah gambaran klinis dengan ciri khusus proteinuri masif lebih dari 3,5 gram per 1,73 m2 luas permukaan tubuh per hari (dalam praktek, cukup > 3,0-3,5 gr per 24 jam) disertai hipoalbuminemi kurang dari 3,0 gram per ml. Pada SN didapatkan pula lipiduria, kenaikan serum lipid lipoprotein, globulin, kolesterol total dan trigliserida, serta adanya sembab sebagai akibat dari proteinuri masif dan hipoproteinemi. Beberapa ahli penyakit ginjal menambahkan kriteria lain :
1. Lipiduria yang terlihat sebagai oval fat bodies atau maltase cross bodies.
2. Kenaikan serum lipid, lipoprotein, globulin, kolesterol total dan trigliserida
3. Sembab.
ETIOLOGI
Di klinis sebagian besar pasien sindrom nefrotik, berkisar antara 75 sampai 80 % termasuk sindrom nefrotik idiopati, etiologinya tidak diketahui. Sebagian kecil pasien-pasien sindrom nefrotik (20%) termasuk sindrom nefrotik sekunder, etiologinya sangat heterogen.
1. Penyakit ginjal parenkim primer
• Glomerulonefritis (pasca streptococcus)
• Idiopati (Lipoid, membranous, membranoproliperatif)
2. Penyakit metabolik dan jaringan kolagen
• Diabetes Mellitus
• Amiloidosis
• Henoch Schonlein Purpura
• Lupus Eritematosus Sistemik
3. Gangguan sirkulasi mekanik
• Right Heart Syndrome
• Trombosis Vena Renalis
4. Penyakit-penyakit keganasan
• Hodgkin
• Limfosarkom
• Mieloma multiple
5. Penyakit-penyakit infeksi
• Malaria
• Sifilis
• Tifus abdominalis
• Hepatitis B, C
• Schistosomiasis
• Lepra
6. Toksin-toksin spesifik
• Logam-logam berat (merkuri, emas dan bismut)
• Obat-obatan (trimetadion, parametadion, pensilinamin, captopril)
7. Kelainan kongenital
8. Lain-lain
• Sirchosis hepatis
• Obesitas
• Kehamilan
• Transplantasi ginjal
Glomerulonefritis primer atau idiopatik merupakan penyebab SN yang paling sering. Dalam kelompok GN primer, GN Lesi Minimal (GNLM), Glomerulosklerosis Fokal Segmental (GSFS), GN Membranosa dan GN Membranoproliferatif (GNMP) merupakan kelainan histopatologik yang sering ditemukan.
PATOFISIOLOGI
PROTEINURIA
Proteinuria disebabkan peningkatan permeabilitas kapiler terhadap protein akibat kerusakan glomerulus. Dalam keadaan normal membran basal glomerulus (MBG) mempunyai mekanisme penghalang untuk mencegah kebocoran protein. Mekanisme penghalang pertama berdasarkan ukuran molekul (size barrier) dan yang kedua berdasarkan muatan listrik (charge barrier). Pada SN kedua mekanisme penghalang tersebut ikut terganggu. Selain itu konfigurasi molekul protein juga menentukan lolos tidaknya protein melalui MBG.
Proteinuria dibedakan menjadi selektif dan non-selektif berdasarkan ukuran molekul protein yang keluar melalui urin. Proteinuria Proteinuria selektif apabila yang keluar terdiri dari molekul kecil misalnya albumin. Sedangkan non-selektif apabila protein yang keluar terdiri dari molekul besar seperti imunoglobulin. Selektivitas proteinuria ditentukan oleh keutuhan struktur MBG.
Pada SN yang disebabkan oleh GNLM ditemukan proteinuria selektif. Pemeriksaan mikroskop elektron memperlihatkan fusi foot processus sel epitel viseral glomerulus dan terlepasnya sel dari struktur MBG. Berkurangnya kandungan heparan sulfat proteoglikan pada GNLM menyebabkan muatan negatif MBG menurun dan albumin dapat lolos ke dalam urin. Pada GSFS, peningkatan permeabilitas MBG disebabkan oleh suatu faktor yang ikut dalam sirkulasi. Faktor tersebut menyebabkan sel epitel viseral glomerulus terlepas dari MBG sehingga permeabilitasnya meningkat. Pada GNMN kerusakan struktur MBG terjadi akibat endapan komplek imun di sub-epitel. Komplek C5b-9 yang terbentuk pada GNMN akan meningkatkan pemeabilitas MBG, walaupun mekanisme yang pasti belum diketahui.
HIPOALBUMINEMIA
Konsentrasi albumin plasma ditentukan oleh asupan protein, sintesis albumin hati dan kehilangan protein melalui urin dan usus (protein loosing enteropathy). Pada SN hipoalbuminemia disebabkan oleh proteinuria masif dengan akibat penurunan tekanan onkotik plasma. Untuk mempertahankan tekanan onkotik plasma maka hati berusaha meningkatkan sintesis albumin. Jika peningkatan sintesis albumin hati tidak berhasil menghalangi timbulnya hipoalbuminemia keadaan ini akan diikuti oleh keadaan hipovolemia yang mungkin menyebabkan uremia pre-renal dan tidak jarang terjadi oliguric acute renal failure. Penurunan faal ginjal ini akan mengurangi filtrasi natrium dari glomerulus. Retensi Na+ dan air yang berhubungan dengan sistem Renin-angiotensin aldosteron (RAA) dapat terjadi bila sindrom nefrotik ini telah memperlihatkan tanda-tanda aldosteronisme sekunder. Retensi natrium dan air pada keadaan ini (aldosteronisme) dapat dikeluarkan dari tubuh dengan pemberian takaran tinggi diuretik yang mengandung antagonis aldosteron. Diet tinggi protein dapat meningkatkan sintesis albumin hati, tetapi dapat, mendorong peningkatan ekskresi albumin melalui urin. Hipolabuminemia dapat pula terjadi akibat peningkatan reabsorbsi dan katabolisme albumin oleh tubulus proksimal.
EDEMA
Edema pada SN dapat diterangkan dengan teori underfill dan overfill. Teori underfill menjelaskan bahwa hipoalbuminemia merupakan faktor kunci terjadinya edema pada SN. Hipoalbuminemia menyebabkan penurunan tekanan onkotik plasma sehingga cairan bergeser dari intravaskular ke jaringan interstitium dan terjadi edema. Akibat penurunan tekanan onkotik plasma dan bergesernya cairan plasma terjadi hipovolemia, dan ginjal melakukan kompensasi dengan meningkatkan retensi natrium dan air. Mekanisme kompensasi ini akan memperbaiki volume intravaskular tetapi juga akan mengeksaserbasi terjadinya hipoalbuminemia sehingga edema semakin berlanjut.
Teori overfill menjelaskan bahwa retensi natrium adalah defek renal utama. Retensi natrium oleh ginjal menyebabkan cairan ekstraselular meningkat sehingga terjadi edema. Penurunan laju filtrasi glomerulus akibat kerusakan ginjal akan menambah retensi natirum dan edema akibat teraktivasinya sistem Renin-angiotensin-aldosteron terutama kenaikan konsentrasi hormon aldosteron yang akan mempengaruhi sel-sel tubulus ginjal untuk mengabsorbsi ion natrium sehingga ekskresi ion natrium (natriuresis) menurun. Selain itu juga terjadi kenaikan aktivasi saraf simpatetik dan konsentrasi katekolamin yang menyebabkan tahanan atau resistensi vaskuler glomerulus meningkat, hal ini mengakibatkan penurunan LFG dan kenaikan desakan Starling kapiler peritubuler sehingga terjadi penurunan ekskresi natrium.
Kedua mekanisme underfill dan overfill tersebut ditemukan secara bersama pada pasien SN. Faktor seperti asupan natrium, efek diuretik atau terapi steroid, derajat gangguan fungsi ginjal, jenis lesi glomerulus dan keterkaitan dengan penyakit jantung atau hati akan menentukan mekanisme mana yang lebih berperan.
PENGARUH SISTEMIK DAN HIPOALBUMINEMIA
Semua organ tubuh dapat mengalami perubahan-perubahan seperti kerusakan jaringan yang jelas terlihat pada kulit dan kuku. Garis striae terlihat tersebar pada kulit paha dan dinding perut. Garis horizontal (berwarna putih) pada kuku dinamakan Muercke line, albumin serum bertindak sebagai pengikat steroid adrenokortikal dan hormon tiroid. Kehilangan sejumlah hormon tiroid mungkin cukup untuk merangsang pembentukan thyroid stimulating hormon (TSH) dan pembentukan goiter. Goiter ini akan mengalami regresi bila sindroma nefrotik telah mengalami remisi. Hormon tiroid terikat juga pada plasma pre-albumin yang mempunyai berat molekul 61.000 dan beberapa globulin.
Transferin dan seruloplasmin merupakan pengikat protein lainnya yang dapat lolos melalui kerusakan glomerulus. Kehilangan imunoglobulin-G (IgG) sering menyebabkan tubuh peka terhadap setiap infeksi. Kehilangan sejumlah faktor-faktor fibrinolisis melalui kerusakan glomerulus dapat menyebabkan pembentukan trombus.
Kehilangan sejumlah 25-Hydroxycholecalciferol yang terikat pada protein dapat menyebabkan gangguan ionisasi, terdapat penurunan kalsium serum (hipokalsemia) dengan gejala tetani.
HIPERLIPOPROTEINEMI DAN HIPERFBRINOGENEMIA
Kolesterol terikat pada plasma dan merupakan konstituen dari lipoprotein yang terdiri dari high dan low density (HDL & LDL). Semua fraksi lipoprotein, kecuali HIDL akan meninggi pada sindrom nefrotik.
Mekanisme hiperlipoproteinemia pada sindrom nefrotik tidak diketahui, diduga berhungan dengan mobilisasi lemak tubuh untuk sintesis protein setelah terjadi keseimbangan negatif protein. Pengalaman klinis membuktikan bahwa hiperlipoproteinemia dapat dicegah atau diatasi sementara dengan infus albumin, dan akan meninggi lagi selama masih terdapat kelainan ginjal. Hiperkolesterolemia dapat merupakan indikator hiperlipoproteinemi pasca sindrom nefrotik. Kolesterol serum meninggi, dapat mencapai 400-600 mg% dan trigliserid serum 2-3 gram%. Sindrom nefrotik yang tidak disertai hiperkolesterolemia dinamakan pseudo-nephrotic syndrome. Biasanya ditemukan pada lupus eritematosus sistemik atau telah terjun ke fase gagal ginjal.
KELAINAN-TUBULUS GINJAL
Proteinuria berat/masif sedang diikuti oelh glikosuda, aminoasiduda, dan fosfaturia walaupun tidak dijumpai diabetes mellitus atau nefropati paraprotein. Hipokalsiuri dapat merupakan gambaran sindrom nefrotik walaupun LFG masih normal.
GAMBARAN KLINIS
Sembab merupakan keluahan utama, tidak jarang merupakan keluhan satu-satunya dari sinrom nefrotik. Timbulnya terutama pada pagi dan hilang pada siang hari. Setelah beberapa minggu atau bulan, sembab menetap. Lokasi sembab biasanya mengenai kelopak mata, tungkai, perut, torak dan genitalia.
Pada sindrom nefrotik dengan hipoalbuminemia berat (albumin serum kurang dari 2 gram%) sembab ini akan mengenai seluruh tubuh, dinamakan anasarka. Pasien-pasien mengeluh sesak nafas, kaki terasa berat dan dingin, tidak jarang dengan diare.
Otot-otot mengalami atrofi terutama otot sekelet (muscle wasting), karena keseimbangan negatif dari nitrogen atau akibat efek samping pemberian kortikosteroid jangka lama. Atrofi otot-otot ini akan terlihat makin nyata bila sembab telah hilang.
Pada sindrom nefrotik berat dengan albumin serum kurang dari 2 gram% dan berlangsung lama selalu disertai tanda-tanda malnutrisi seperti perubahan-perubahan rambut dan kulit, pembesaran kelenjar parotis, garis Muercke pada kuku.
Pada beberapa pasien tidak jarang dengan keluhan yang menyerupai acute abdomen yaitu sakit perut hebat, mual-mual dan muntah-muntah, dinding perut sangat tegang. Keluhan-keluhan demikian dinamakan nephrotic crisis. Pada laparotomi hanya ditemukan cairan asites steril dan serat-serat fibrin.
Sindrom nefrotik sangat peka terhadap infeksi sekunder terutama infeksi saluran nafas (pneumonia), dan saluran kemih (pielonefritis).
Pemeriksaan diagnosis fisik
Pasien sesak nafas, muka sembab (puffy face), anemi ringan, pembesaran kelenjar parotis, struma difussa non toksik, efusi pleura, asites, sembab subkutis dinding perut dan dada, sembab tungkai dan lengan, sembab genitalia, hipertensi ringan dan sedang.
Hipertensi berat dengan atau tanpa penyulit bukan merupakan gejala sindrom nefrotik tetapi mempunyai hubungan dengan etiologi dan perubahan-perubahan histopatologis ginjal. Pada pasien-pasien glomerulopati lesi minimal (GLM) jarang ditemukan hipertensi. Pada glomerulopati membranous (GM) hipertensi ditemukan pada kira-kira 50%. Hipertensi lebih sering ditemukan (75%) bila sindrom nefrotik mempunyai hubungan dengan glomerulonefritis kronis, lupus nefritis dan glomerulo-sklerosis interkapiler pada diabetes mellitus.
HUBUNGAN ANTARA KELAINAN HISTOPATOLOGI DAN GAMBARAN KLINIK
1. Glomerulopati Lesi Minimal (GLM)
Glomerulopati lesi minimal sering dijumpai pada sindroma nefrotik anak-anak. Angka kejadian glomerulopati lesi minimal pada sindrom nefrotik dewasa antara 10-15%. Gambaran klinik yang khas : faal ginjal normal, tidak ditemukan hematuria, normotensi, mempunyai respon yang baik terhadap kortikosteroid dengan remisi mencapai 90 %. Remisi spontan mencapai 60 %. Kira-kira 2/3 dari seluruh pasien glomerulopati lesi minimal akan mengalami kambuh ( relap ) 3-4 bulan setelah remisi sempurna, tetapi sebagian besar pasien-pasien tersebut masih menunjukkan respon yang baik terhadap kortikosteroid dan sebagian kecil terhadap imunosupresif lain misalnya siklofosfamid (endoksan). Pasien-pasien yang memperlihatkan respon baik terhadap siklofosfamid ini akhirnya akan memperlihatkan baik terhadap kortikosteroid lagi.
Hampir 70% dari pasien-pasien glomerulopati lesi minimal yang mengalami kambuh (relap), didahului oleh infeksi saluran pernafasan non streptokok dengan periode laten kurang dari 10 hari, atau penyakit atopik saluran nafas atas ( rinitis alergik). Pengamatan penulis menemukan relapser sindrom nefrotik (pasien anak) sering didahului penyakit atopik; seperti rinitis alergi atau asma bronchial. Pemeriksaan petanda alergi (IgE total) sangat tinggi. Sebagian besar pasien relapsersindrom nefrotik setelah usia dewasa sering mengalami episode asma bronchial.
Biopsi ginjal ulangan dari pasien-pasien glomerulopati lesi minimal yang resisten terhadap kortikosteroid memperlihatkan lesi-lesi glomerulus seperti amiloid atau deposit-deposit komplek imun atau glomerulosklerosis fokal.

2. Glomerulopati Lesi Membranous (GLM)
Angka kejadian lesi membranous kira-kira 30-50% dari sindrom nefrotik pada orang dewasa. Perjalanan penyakit glomerulopati lesi membranous menyusup lambat. Proteinuria biasanya lebih dari 10 gram per hari dan sifatnya non selektif. Kira-kira 75% dari pasien-pasien glomerulopati lesi membranous dengan gambaran klinik sembab, disamping lebih dari 10% dengan hematuria makroskopis terutama pada anak-anak. Hematuria mikroskopis ditemukan kira-kira lebih dari 50% dan 1/3 dari pasien-pasien disertai hipertensi dan penurunan faal ginjal. Hipokomplemenemia bukan merupakan gambaran dari pasien-paien glomerulopati membranous. Remisi ditemukan pada kira-kira 30%, tetapi sering terjadi kambuh kembali (relap) setelah beberapa bulan atau tahun.
Prognosis tidak tergantung dari derajat penebalan membran basal. Proteinuria masif dan menetap (persisten) mempunyai prognosis buruk, lebih sering terjun menjadi gagal ginjal kronik (GGK). Masa hidup mencapai 5 tahun (70 sampai 90%) dan 10 tahun(50 sampai 60%).

3. Glomrulosklerosis lokal (GFS)
Glomerulosklerosis fokal dapat ditemukan pada pasien-pasien dengan gambaran klinik proteinuria asimptomatik disertai hipertensi dan penurunan faal ginjal dan proteinuria masif (sindrom nefrotik). Angka kejadian glomerulosklerosis fokal pada sindrom nefrotik idiopati hanya kira-kira 10% pada anak-anak, sedangkan pada orang dewasa 10-20%.
Lesi-lesi yang ditemukan pada stadium permulaan dari GFS ini sulit dibedakan dengan GLM. Kecuali terdapat atrofi sel-sel tubulus yang mencolok. Klinik dijumpai hipertensi dan proteinuria non selektif.
Remisi maupun eksaserbasi dapat terjadi pada glomerulosklerosis fokal. Remisi dapat mencapai 25% pada anak-anak. Progresivitas penyakit sampai terjun menjadi gagal ginjal hanya sekitar 30% dari semua pasien.
Peranan kortikosteroid maupun siklofosfamid masih diragukan, masih kontroversi diantara para peneliti.

4. Glomerulopati Lesi Proliferatif (GLP) atau
Glomerulopati lesi membrano-proliferatif (GLMP) atau
Glomerulopati mesangiokapiler (GMK).
Glomerulopati lesi membrano-proliferatif idiopati relatif jarang, biasanya ditemukan pada usia adolesen dengan umur antara 15-30 tahun. Gambaran klinik Glomerulopati membrano-proliferatif sindrom nefrotik (30%), proteinuria dengan atau tanpa hematuria (30%) dan sindrom nefrotik akut (20%). Gambaran klinik sindrom nefrotik dengan lesi membranoproliferatif : proteinuria masif non selektif, hematuria, hipertensi, penurunan faal ginjal progresif lambat selama bertahun-tahun sebelum terjadi sindrom azotemia. Bila proteinuria masif dan menetap (persisten) menunjukkan prognosis buruk dan akan terjun menjadi gagal ginjal kronik (GGK).
Peranan kortikosteroid masih kontroversi. Pengobatan semata-mata simtomatis sebelum transplantasi ginjal.
KOMPLIKASI
Penyulit (komplikasi) Sindrom Nefrotik tergantung dari beberapa faktor :
- Kelainan histopatologis
- Lamanya sakit
- Usia pasien
a) Malnutrisi, akibat hipolabuminemia berat.
b) Infeksi sekunder, disebabkan gangguan mekanisme pertahanan humoral, penurunan gamma globulin serum.
c) Gangguan koagulasi, berhubungan dengan kenaikan beberapa faktor pembekuan yang menyebabkan keadaan hiperkoagulasi.
d) Akselerasi aterosklerosis, akibat dari hipelipidemia yang lama.
e) Kolap hipovolemia, akibat proteinuria yang berat.
f) Efek samping obat-obatan : diuretik, antibiotik, kortikosteroid, antihipertensi, sitostatika yang sering digunakan pada pasien sindrom nefrotik.
g) Gagal ginjal.
EVALUASI KLINIK
Berdasarkan pemikiran bahwa penyebab SN sangat luas maka anamnesis dan pemeriksaan fisis serta pemeriksaan urin, termasuk pemeriksaan sedimen, perlu dilakukan dengan cermat. Pemeriksaan kadar albumin dalam serum, kolesterol, dan trigliserid juga membantu penilaian terhadap SN. Anamnesis penggunaan obat, kemungkinan berbagai infeksi dan riwayat penyakit sistemik lain perlu diperhatikan. Pemeriksaan serologik dan biopsi ginjal sering diperlukan untuk menegakkan diagnosis dan menyingkirkan kemungkinan penyebab GN sekunder. Pemeriksaan serologik sering tidak banyak memberikan informasi dan biayanya mahal. Karena itu sebaiknya pemeriksaan serologik hanya dilakukan berdasarkan indikasi yang kuat.
PENGOBATAN
Pengobatan SN terdiri dari pengobatan spesifik yang ditujuka terhadap penyakit dasar dan pengobatan non-spesifik untuk mengurangi proteinuria, mengontrol edema dan mengobati komplikasi. Diuretik disertai diet rendah garam dan tirah baring dapat membantu mengontrol edema. Kontrol proteinuria dapat memperbaiki hipoalbuminemia dan mengurangi risiko komplikasi yang ditimbulkan. Pembatasan asupan protein 0,6-0,8 gr/kg berat badan/hari dapat mengurangi proteinuria.

3rr0rists.com/medical/sindrom-nefrotik/300609/21.43 wib.html

ASUHAN KEPERAWATAN GGK

A. PENGERTIAN
Gagal ginjal kronik merupakan gangguan fungsi ginjal yang progresif dan irreversible, yang menyebabkan kemampuan tubuh gagal untuk mempertahankan metabolisme dan keseimbangan cairan maupun elektrolit, sehingga timbul gejala uremia (retensi urea dan sampah nitrogen lain dalam darah).
Klasifikasi GGK atau CKD (Cronic Kidney Disease) :
Stage Gbran kerusakan ginjal GFR (ml/min/1,73 m2)
1 Normal atau elevated GFR ≥ 90
2 Mild decrease in GFR 60-89
3 Moderate decrease in GFR 30-59
4 Severe decrease in GFR 15-29
5 Requires dialysis ≤ 15
B. ETIOLOGI
Gagal ginjal kronik terjadi setelah berbagai macam penyakit yang merusak nefron ginjal. Sebagian besar merupakan penyakit paremkim ginjal difus dan bilateral.
• Infeksi : pielonefritis kronik
• Penyakit peradangan : glomerulonefritis
• Penyakit vaskuler hipertensif : nefrosklerosis benigna
nefrosklerosis maligna
stenosis arteri renalis
• Gangguan jaringan penyambung : SLE
Poli arteritis nodosa
Sklerosis sistemik progresif
• Gangguan congenital dan herediter : Penyakit ginjal polikistik
Asidosis tubuler ginjal
• Penyakit metabolic : DM, Gout, Hiperparatiroidisme, Amiloidosis
• Nefropati obstruktif : penyalahgunaan analgetik nefropati timbale
• Nefropati obstruktif
• Sal. Kemih bagian atas: Kalkuli, neoplasma, fibrosis, netroperitoneal
• Sal. Kemih bagian bawah:
Hipertrofi prostate, striktur uretra, anomali congenital pada leher kandung kemih dan uretra
C. TANDA DAN GEJALA
1. Kelainan Hemopoesis, dimanifestasikan dengan anemia
a. Retensi toksik uremia → hemolisis sel eritrosit, ulserasi mukosa sal.cerna, gangguan pembekuan, masa hidup eritrosit memendek, bilirubuin serum meningkat/normal, uji comb’s negative dan jumlah retikulosit normal.
b. Defisiensi hormone eritropoetin
Ginjal sumber ESF (Eritropoetic Stimulating Factor) → def. H eritropoetin →Depresi sumsum tulang → sumsum tulang tidak mampu bereaksi terhadap proses hemolisis/perdarahan → anemia normokrom normositer.
2. Kelainan Saluran cerna
a. Mual, muntah, hicthcup
dikompensasi oleh flora normal usus → ammonia (NH3) → iritasi/rangsang mukosa lambung dan usus
b. Stomatitis uremia
Mukosa kering, lesi ulserasi luas, karena sekresi cairan saliva banyak mengandung urea dan kurang menjaga kebersihan mulut.
c. Pankreatitis
Berhubungan dengan gangguan ekskresi enzim amylase
3. Kelainan mata
4. Kelainan kulit
a. Gatal
Terutama pada klien dgn dialiss rutin karena:
-toksik uremia yang kurang terdialisis
-peningkatan kadar kalium phosphor
-alergi bahan-bahan dalam proses HD
b. Kering bersisik
Karena ureum meningkat menimbulkan penimbunan kristal urea di bawah kulit
c. Kulit mudah memar
5. Neuropsikiatri
6. Kelainan selaput serosa
7. Neurologi → kejang otot
8. Kardiomegali
D. FAKTOR PREDISPOSISI/PENCETUS
1. Kondisi prerenal (hipoperfusi ginjal)
Kondisi prerenal adalah masalah aliran darah akibat hipoperfusi ginjal dan turunnya laju filtrasi glomerulus. Kondisi klinis yang umum adalah status penipisan volume (hemoragi atau kehilangan cairan melalui saluran gastrointestinal), vasodilatasi (sepsis atau anafilaksis), dan gangguan fungsi jantung (infark miokardium, gagal jantung kongestif, atau syok kardiogenik)
2. Penyebab intrarenal (kerusakan actual jaringan ginjal)
Penyebab intrarenal gagal ginjal akut adalah akibat dari kerusakan struktur glomerulus atau tubulus ginjal. Kondisi seperti rasa terbakar, cedera akibat benturan, dan infeksi serta agen nefrotoksik dapat menyebabkan nekrosis tubulus akut (ATN) dan berhentinya fungsi renal. Cedera akibat terbakar dan benturan menyebabkan pembebasan hemoglobin dan mioglobin (protein yang dilepaskan dari otot ketika cedera), sehingga terjadi toksik renal, iskemik atau keduanya. Reaksi tranfusi yang parah juga menyebabkan gagal intrarenal, hemoglobin dilepaskan melalui mekanisme hemolisis melewati membran glomerulus dan terkonsentrasi di tubulus ginjal menjadi faktor pencetus terbentuknya hemoglobin. Penyebab lain adalah pemakaian obat-obat antiinflamasi nonsteroid (NSAID), terutama pada pasien lansia. Medikasi ini mengganggu prostaglandin yang secara normal melindungi aliran darah renal, menyebabkan iskemia ginjal.
3. Pasca renal
Pascarenal yang biasanya menyebabkan gagal ginjal akut biasanya akibat dari obstruksi di bagian distal ginjal. Tekanan di tubulus ginjal meningkat, akhirnya laju filtrasi glomerulus meningkat.
Meskipun patogenesis pasti dari gagal ginjal akut dan oligoria belum diketahui, namun terdapat masalah mendasar yang menjadi penyebab. Beberapa factor mungkin reversible jika diidentifikasi dan ditangani secara tepat sebelum fungsi ginjal terganggu. Beberapa kondisi yang menyebabkan pengurangan aliran darah renal dan gangguan fungsi ginjal: (1) hipovolemia; (2) hipotensi; (3) penurunan curah jantung dan gagal jantung kongestif; (4) obstruksi ginjal atau traktus urinarius bawah akibat tumor, bekuan darah, atau batu ginjal dan (5) obstrusi vena atau arteri bilateral ginjal.
E. PATOFISIOLOGI
Hipotesis Bricker (hipotesis nefron yang utuh)
“Bila nefron terserang penyakit maka seluruh unitnya akan hancur, namun sisa nefron yang masih utuh tetap bekerja normal”
Jumlah nefron turun secara progresif

Ginjal melakukan adaptasi (kompensasi)
-sisa nefron mengalami hipertropi
-peningkatan kecepatan filtrasi, beban solute dan reabsorbsi
tubulus dalam tiap nefron, meskipun GFR untuk seluruh massa nefron menurun di bawah normal

Kehilangan cairan dan elektrolit dpt dipertahankan

Jk 75% massa nefron hancur
Kecepatan filtrasi dan bebab solute bagi tiap nefron meningkat

Keseimbangan glomerulus dan tubulus tidak dapat dipertahankan

Fleksibilitas proses ekskresi & konversi solute &air ↓
Sedikit perubahan pada diit mengakibatkan keseimbangan terganggu

Hilangnya kemampuan memekatkan/mengencerkan kemih
BJ 1,010 atau 2,85 mOsml (= konsentrasi plasma)

poliuri, nokturia
nefron tidak dapat lagi mengkompensasi dgn tepat
terhadap kelebihan dan kekurangan Na atau air
Toksik Uremik
Gagal ginjal tahap akhir

↓GFR
Kreatinin ↑ Prod. Met. Prot. Tertimbun ↑ phosphate serum
Dalam darah ↓ kalsium serum
Sekresi parathormon
Tubuh tdk berespon dgn N
Kalsium di tulang ↓
Met.aktif vit D↓
Perub.pa tulang/osteodistrofi ginjal
F. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK
1.Laboratorium
a. Pemeriksaan penurunan fungsi ginjal
-ureum kreatinin
-asam urat serum
b. Identifikasi etiologi gagal ginjal
-analisis urin rutin
-mikrobiologi urin
-kimia darah
-elektrolit
-imunodiagnosis
c. Identifikasi perjalanan penyakit
-progresifitas penurunan fungsi ginjal
ureum kreatinin, klearens kreatinin test
CCT = (140 – umur ) X BB (kg)
72 X kreatinin serum
wanita = 0,85
pria = 0,85 X CCT
-hemopoesis : Hb, trobosit, fibrinogen, factor pembekuan
-elektrolit
-endokrin : PTH dan T3,T4
-pemeriksaan lain: infark miokard
2. Diagnostik
a. Etiologi GGK dan terminal
-Foto polos abdomen
-USG
-Nefrotogram
-Pielografi retrograde
-Pielografi antegrade
-mictuating Cysto Urography (MCU)
b. Diagnosis pemburuk fungsi ginjal
-Renogram
-USG
G. PENATALAKSANAAN
1. Penatalaksanaan konservatif:
Pengaturan diet protein, kalium, natrium, cairan
2. Terapi simptomatik :
Suplemen alkali, transfuse, obat-obat local&sistemik, anti hipertensi
3. Terapi pengganti : HD, CAPD, transplantasi
H. KOMPLIKASI
- Hipertensi
- Hiperkalemia
- Anemia
- Asidosis metabolic
- Osteodistropi ginjal
- Sepsis
- Neuropati perifer
- Hiperuremia
- Oedem Pulmo
I. DIAGNOSA KEPERAWATAN
1. Kelebihan volume cairan
2. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh
3. PK : Hiperkalemia
4. PK : Asidosis
5. PK : Anemia
Daftar Pustaka :
Corwin, E. J. (2000). Buku saku patofisiologi. Jakarta: EGC.
Ganong, W. F. (1998). Buku ajar: Fisiologi kedokteran. Edisi 17. Jakarta: EGC.
Guyton, A. C. (1995). Buku ajar: Fisiologi kedokteran. Edisi 7. Jakarta: EGC.
Guyton, A. C. & Hall, J. E. (1997). Buku ajar: Fisiologi kedokteran. Edisi 9. Jakarta: EGC.
Havens, L. & Terra, R. P. (2005). Hemodialysis. Terdapat pada: http://www.kidneyatlas.org (18 Maret 2006).
NKF. (2001). Guidelines for hemodialysis adequacy. Terdapat pada: http://www.nkf.com. (6 Maret 2006).
NKF. (2006). Hemodialysis. Terdapat pada: http://www.kidneyatlas.org. (18 Maret 2006)
PERNEFRI. (2003). Konsensus dialisis. Jakarta: Sub Bagian Ginjal dan Hipertensi–Bagian Ilmu Penyakit dalam. FKUI-RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo.
Price, S. A. & Wilson, L. M. (1995) Patofisiologi: Konsep klinis proses-proses penyakit. Edisi 4. Jakarta: EGC.
Rose, B. D. & Post, T. W. (2006) Hemodialysis: Patient information. Terdapat pada: http://www.patients.uptodate.com (18 Maret 2006).
Tisher, C. C. & Wilcox, C. S. (1997). Buku saku nefrologi. Edisi 3. Jakarta: EGC.
Johnson., Mass. 1997. Nursing Outcomes Classification, Availabel on: www.Minurse.com, 14 Mei 2004
McCloskey, Joanne C,. Bulecheck, Gloria M. 1996. Nursing Intervention Classsification (NIC). Mosby, St. Louise.
NANDA, 2002. Nursing Diagnosis : Definition and Classification (2001-2002), Philadelphia.
www.b11nk.wordpress.com/askep/300609/20.55 wib.html

ASKEP Decompensasi Cordis

A. Pengertian
Decompensasi cordis adalah kegagalan jantung dalam upaya untuk mempertahankan peredaran darah sesuai dengan kebutuhan tubuh.(Dr. Ahmad ramali.1994)

Dekompensasi kordis adalah suatu keadaan dimana terjadi penurunan kemampuan fungsi kontraktilitas yang berakibat pada penurunan fungsi pompa jantung (Tabrani, 1998; Price, 1995).

B. Etiologi

Mekanisme fisiologis yang menyebabkan timbulnya dekompensasi kordis adalah keadaan-keadaan yang meningkatkan beban awal, beban akhir atau yang menurunkan kontraktilitas miokardium. Keadaan yang meningkatkan beban awal seperti regurgitasi aorta, dan cacat septum ventrikel. Beban akhir meningkat pada keadaan dimana terjadi stenosis aorta atau hipertensi sistemik. Kontraktilitas miokardium dapat menurun pada infark miokard atau kardiomiyopati.

Faktor lain yang dapat menyebabkan jantung gagal sebagai pompa adalah gangguan pengisisan ventrikel (stenosis katup atrioventrikuler), gangguan pada pengisian dan ejeksi ventrikel (perikarditis konstriktif dan temponade jantung). Dari seluruh penyebab tersebut diduga yang paling mungkin terjadi adalah pada setiap kondisi tersebut mengakibatkan pada gangguan penghantaran kalsium di dalam sarkomer, atau di dalam sistesis atau fungsi protein kontraktil (Price. Sylvia A, 1995).

C. Klasifikasi

Berdasarkan bagian jantung yang mengalami kegagalan pemompaan,gagal jantung terbagi atas gagal jantung kiri,gagal jantung kanan,dan gagal jantung kongestif.

Pada gagal jantung kiri terjadi dyspneu d’effort,fatigue,ortopnea,dispnea nocturnal paroksismal,batuk,pembesaran jantung,irama derap,ventricular heaving,bunyi derap S3 dan S4,pernapasan cheyne stokes,takikardi,pulsusu alternans,ronkhi dan kongesti vena pulmonalis.

Pada gagal jantung kanan timbul edema,liver engorgement,anoreksia,dan kembung.Pada pemeriksaan fisik didapatkan hipertrofi jantung kanan,heaving ventrikel kanan,irama derap atrium kanan,murmur,tanda tanda penyakit paru kronik,tekanan vena jugularis meningkat,bunyi P2 mengeras,asites,hidrothoraks,peningkatan tekanan vena,hepatomegali,dan pitting edema.

Pada gagal jantung kongestif terjadi manifestasi gabungan gagal jantung kiri dan kanan. New York Heart Association (NYHA) membuat klasifikasi fungsional dalam 4 kelas :
1. Kelas 1;Bila pasien dapat melakukan aktivitas berat tanpa keluhan.
2. Kelas 2;Bila pasien tidak dapat melakukan aktivitas lebih berat dari aktivitas sehari hari tanpa keluhan.
3. Kelas 3;Bila pasien tidak dapat melakukan aktivitas sehari hari tanpa keluhan.
4. Kelas 4;Bila pasien sama sekali tidak dapat melakukan aktivits apapun dan harus tirah baring.

D. Patofisiologi

Kelainan intrinsik pada kontraktilitas myokard yang khas pada gagal jantung akibat penyakit jantung iskemik, mengganggu kemampuan pengosongan ventrikel yang efektif. Kontraktilitas ventrikel kiri yang menurun mengurangi curah sekuncup,dan meningkatkan volume residu ventrikel. Sebagai respon terhadap gagal jantung,ada tiga mekanisme primer yang dapat di lihat :
• Meningkatnya aktivitas adrenergic simpatik,
• Meningkatnya beban awal akibat aktivasi system rennin angiotensin aldosteron, dan
• Hipertrofi ventrikel.
Ketiga respon kompensatorik ini mencerminkan usaha untuk mempertahankan curah jantung.
Kelainan pada kerja ventrikel dan menurunnya curah jantung biasanya tampak pada keadaan beraktivitas. Dengan berlanjutnya gagal jantung maka kompensasi akan menjadi semakin kurang efektif. Meurunnya curah sekuncup pada gagal jantung akan membangkitkan respon simpatik kompensatorik. Meningkatnya aktivitas adrenergic simpatik merangang pengeluaran katekolamin dari saraf saraf adrenergic jantung dan medulla adrenal.Denyut jantuing dan kekuatan kontraksi akan meningkat untuk menambah curah jantung.Juga terjadi vasokonstriksi arteria perifer untuk menstabilkan tekanan arteria dan redistribusi volume darah dengan mengurangi aliran darah ke organ organ yang rendah metabolismenya seperti kulit dan ginjal, agar perfusi ke jantung dan otak dapat dipertahankan.
Penurunan curah jantung pada gagal jantung akan memulai serangkaian peristiwa :
1. Penurunan aliran darah ginjal dan akhirnya laju filtrasi glomerulus,
2. Pelepasan rennin dari apparatus juksta glomerulus,
3. Iteraksi rennin dengan angiotensinogen dalam darah untuk menghasilkan angiotensin I,
4. Konversi angiotensin I menjadi angiotensin II,
5. Perangsangan sekresi aldosteron dari kelenjar adrenal, dan
6. Retansi natrium dan air pada tubulus distal dan duktus pengumpul.
Respon kompensatorik terakhir pada gagal jantung adalah hipertrofi miokardium atau bertambahnya tebal dinding.Hipertrofi meningkatkan jumlah sarkomer dalam sel-sel miokardium;tergantung dari jenis beban hemodinamik yang mengakibatkan gagal jantung,sarkomer dapat bertambah secara parallel atau serial.Respon miokardium terhadap beban volume,seperti pada regurgitasi aorta,ditandai dengan dilatasi dan bertambahnya tebal dinding.

E. Tanda dan gejala

Dampakdari cardiak output dan kongesti yang terjadi sisitem vena atau sisitem pulmonal antara lain :
• Lelah
• Angina
• Cemas
• Oliguri. Penurunan aktifitas GI
• Kulit dingin dan pucat
Tanda dan gejala yang disebakan oleh kongesti balikdari ventrikel kiri, antara lain :
• Dyppnea
• Batuk
• Orthopea
• Reles paru
• Hasil x-ray memperlihatkan kongesti paru.
Tanda-tanda dan gejala kongesti balik ventrikel kanan :
• Edema perifer
• Distensi vena leher
• Hari membesar
• Peningkatan central venous pressure (CPV)

F. Pemeriksaan penunjang
1. Foto polos dada
• Proyeksi A-P; konus pulmonalis menonjol, pinggang jantung hilang, cefalisasi arteria pulmonalis.
• Proyeksi RAO; tampak adanya tanda-tanda pembesaran atrium
kiri dan pembesaran ventrikel kanan.

2. EKG
Irama sinus atau atrium fibrilasi, gel. mitral yaitu gelombang P yang melebar serta berpuncak dua serta tanda RVH, LVH jika lanjut usia cenderung tampak gambaran atrium fibrilasi.

3. Kateterisasi jantung dan Sine Angiografi
Didapatkan gradien tekanan antara atrium kiri dan ventrikel kiri pada saat distol. Selain itu dapat dideteksi derajat beratnya hipertensi pulmonal. Dengan mengetahui frekuensi denyut jantung, besar curah jantung serta gradien antara atrium kiri dan ventrikel kiri maka dapat dihitung luas katup mitral.

Asuhan Keperawatan pada Pasien dengan Decompensasi Cordis


A. Pengkajian
1. Aktivitas dan Istirahat
• Gejala : Mengeluh lemah, cepat lelah, pusing, rasa berdenyut dan berdebar.
Mengeluh sulit tidur (ortopneu, dispneu paroksimal nokturnal, nokturia, keringat malam hari).
• Tanda: Takikardia, perubahan tekanan darah, pingsan karena kerja, takpineu, dispneu.

2. Sirkulasi
• Gejala: Menyatakan memiliki riwayat demam reumatik hipertensi, kongenital: kerusakan arteial septal, trauma dada, riwayat murmur jantung dan palpitasi, serak, hemoptisisi, batuk dengan/tanpa sputum, riwayat anemia, riwayat shock hipovolema.
• Tanda: Getaran sistolik pada apek, bunyi jantung; S1 keras, pembukaan yang keras, takikardia. Irama tidak teratur; fibrilasi arterial.

3. Integritas Ego
• Tanda: menunjukan kecemasan; gelisah, pucat, berkeringat, gemetar. Takut akan kematian, keinginan mengakhiri hidup, merasa tidak berguna, kepribadian neurotik.

4. Makanan / Cairan
• Gejala: Mengeluh terjadi perubahan berat badan, sering penggunaan diuretik.
• Tanda: Edema umum, hepatomegali dan asistes, pernafasan payah dan bising terdengar krakela dan mengi.

5. Neurosensoris
• Gejala: Mengeluh kesemutan, pusing
• Tanda: Kelemahan

6. Pernafasan
• Gejala: Mengeluh sesak, batuk menetap atau nokturnal.
• Tanda: Takipneu, bunyi nafas; krekels, mengi, sputum berwarna bercak darah, gelisah.

7. Keamanan
• Gejala: Proses infeksi/sepsis, riwayat operasi
• Tanda: Kelemahan tubuh

8. Penyuluhan / pembelajaran
• Gejala: Menanyakan tentang keadaan penyakitnya.
• Tanda: Menunjukan kurang informasi.

B. Diagnosa Keperawatan yang Mungkin muncul
1. Kerusakan pertukaran gas b.d kongesti paru sekunder perubahan membran kapiler alveoli dan retensi cairan interstisiil.

2. Penurunan curah jantung b.d penurunan pengisian ventrikel kiri, peningkatan atrium dan kongesti vena.

C. Inetrvensi
1. Diagnosa Keperawatan 1. :
Kerusakan pertukaran gas b.d kongesti paru sekunder perubahan membran kapiler alveoli dan retensi cairan interstisiil

Tujuan :
Mempertahankan ventilasi dan oksigenasi secara adekuat, PH darah normal, PO2 80-100 mmHg, PCO2 35-45 mm Hg, HCO3 –3 – 1,2

Tindakan
• Kaji kerja pernafasan (frekwensi, irama , bunyi dan dalamnya)
• Berikan tambahan O2 6 lt/mnt
• Pantau saturasi (oksimetri) PH, BE, HCO3 (dengan BGA)
• Koreksi kesimbangan asam basa

• Beri posisi yang memudahkan klien meningkatkan ekpansi paru.(semi fowler)
• Cegah atelektasis dengan melatih batuk efektif dan nafas dalam
• Lakukan balance cairan
• Batasi intake cairan
• Eavluasi kongesti paru lewat radiografi
• Kolaborasi :
• RL 500 cc/24 jam
• Digoxin 1-0-0
• Furosemid 2-1-0

Rasional
• Untuk mengetahui tingkat efektivitas fungsi pertukaran gas.
• Untuk meningkatkan konsentrasi O2 dalam proses pertukaran gas.
• Untuk mengetahui tingkat oksigenasi pada jaringan sebagai dampak adekuat tidaknya proses pertukaran gas.
• Mencegah asidosis yang dapat memperberat fungsi pernafasan.
• Meningkatkan ekpansi paru
• Kongesti yang berat akan memperburuk proses perukaran gas sehingga berdampak pada timbulnya hipoksia.
• Meningkatkan kontraktilitas otot jantung sehingga dapat meguranngi timbulnya odem sehingga dapat mecegah ganggun pertukaran gas.
• Membantu mencegah terjadinya retensi cairan dengan menghambat ADH.

2. Diagnosa Keperwatan 2. :
Penurunan curah jantung b.d penurunan pengisian ventrikel kiri, peningkatan atrium dan kongesti vena.

Tujuan :
Stabilitas hemodinamik dapat dipertahanakan dengan kriteria : (TD > 90 /60), Frekwensi jantung normal.

Tindakan
• Pertahankan pasien untuk tirah baring
• Ukur parameter hemodinamik
• Pantau EKG terutama frekwensi dan irama.
• Pantau bunyi jantung S-3 dan S-4
• Periksa BGA dan saO2
• Pertahankan akses IV
• Batasi Natrium dan air
• Kolaborasi :
• ISDN 3 X1 tab
• Spironelaton 50 –0-0

Rasional
• Mengurangi beban jantung
• Untuk mengetahui perfusi darah di organ vital dan untuk mengetahui PCWP, CVP sebagai indikator peningkatan beban kerja jantung.
• Untuk mengetahui jika terjadi penurunan kontraktilitas yang dapat mempengaruhi curah jantung.
• Untuk mengetahui tingkat gangguan pengisisna sistole ataupun diastole.
• Untuk mengetahui perfusi jaringan di perifer.
• Untuk maintenance jika sewaktu terjadi kegawatan vaskuler.
• Mencegah peningkatan beban jantung
• Meningkatkan perfisu ke jaringan
• Kalium sebagai salah satu komponen terjadinya konduksi yang dapat menyebabkan timbulnya kontraksi otot jantung.

http://blogger-blogspot-com.blogspot.com/2009/06/asuhan-keperawatan-pada-pasien-dengan_02.html

ASKEP ASMA

A. Pengertian
Asma bronkhial adalah penyakit jalan nafas obstruktif intermitten, reversible dimana trakeobronkial berespon secara hiperaktif terhadap stimuli tertentu.
Asma bronkhial adalah suatu penyakit dengan ciri meningkatnya respon trakea dan bronkus terhadap berbagai rangsangan dengan manifestasi adanya penyempitan jalan nafas yang luas dan derajatnya dapat berubah-ubah baik secara spontan maupun hasil dari pengobatan.
B. Klasifikasi
Berdasarkan penyebabnya, asma bronkhial dapat diklasifikasikan menjadi 3 tipe, yaitu :
1. Ekstrinsik (alergik)
Ditandai dengan reaksi alergik yang disebabkan oleh faktor-faktor pencetus yang spesifik, seperti : debu, serbuk bunga, bulu binatang, obat-obatan (antibiotic dan aspirin) dan spora jamur. Asma ekstrinsik sering dihubungkan dengan adanya suatu predisposisi genetik terhadap alergi. Oleh karena itu jika ada faktor-faktor pencetus spesifik seperti yang disebutkan di atas, maka akan terjadi serangan
asma ekstrinsik.
2. Intrinsik (non alergik)
Ditandai dengan adanya reaksi non alergi yang bereaksi terhadap pencetus yang tidak spesifik atau tidak diketahui, seperti : udara dingin atau bisa juga disebabkan oleh adanya infeksi saluran pernafasan dan emosi. Serangan asma ini menjadi lebih berat dan sering sejalan dengan berlalunya waktu dan dapat berkembang menjadi bronkhitis kronik dan emfisema. Beberapa pasien akan mengalami asma gabungan.
3. Asma gabungan
Bentuk asma yang paling umum. Asma ini mempunyai karakteristik dari bentuk alergik dan non-alergik.

C. Etiologi
Ada beberapa hal yang merupakan faktor predisposisi dan presipitasi
timbulnya serangan asma bronkhial yaitu :
a. Faktor predisposisi
Genetik
Dimana yang diturunkan adalah bakat alerginya, meskipun belum diketahui bagaimana cara penurunannya yang jelas. Penderita dengan penyakit alergi biasanya mempunyai keluarga dekat juga menderita penyakit alergi. Karena adanya bakat alergi ini, penderita sangat mudah terkena penyakit asma bronkhial jika terpapar dengan faktor pencetus. Selain itu hipersentifisitas saluran pernafasannya juga bisa diturunkan.
b. Faktor presipitasi
Alergen 
Dimana alergen dapat dibagi menjadi 3 jenis, yaitu :
1. Inhalan, yang masuk melalui saluran pernapasan
Contoh : debu, bulu binatang, serbuk bunga, spora jamur, bakteri dan polusi
2. Ingestan, yang masuk melalui mulut
Contoh : makanan dan obat-obatan
3. Kontaktan, yang masuk melalui kontak dengan kulit
Contoh : perhiasan, logam dan jam tangan

Perubahan cuaca
Cuaca lembab dan hawa pegunungan yang dingin sering mempengaruhi asma. Atmosfir yang mendadak dingin merupakan faktor pemicu terjadinya serangan asma. Kadang-kadang serangan berhubungan dengan musim, seperti: musim hujan, musim kemarau.
Stress 
Stress/ gangguan emosi dapat menjadi pencetus serangan asma, selain itu juga bisa memperberat serangan asma yang sudah ada. Disamping gejala asma yang timbul harus segera diobati penderita asma yang mengalami stress/gangguan emosi perlu diberi nasehat untuk menyelesaikan masalah pribadinya. Karena jika stressnya belum diatasi maka gejala asmanya belum bisa diobati.
Lingkungan kerja 
Mempunyai hubungan langsung dengan sebab terjadinya serangan asma. Hal ini berkaitan dengan dimana dia bekerja. Misalnya orang yang bekerja di laboratorium hewan, industri tekstil, pabrik asbes, polisi lalu lintas. Gejala ini membaik pada waktu libur atau cuti.
Olah raga/ aktifitas jasmani yang berat 
Sebagian besar penderita asma akan mendapat serangan jika melakukan aktifitas jasmani atau olah raga yang berat. Lari cepat paling mudah menimbulkan serangan asma. Serangan asma karena aktifitas biasanya terjadi segera setelah selesai aktifitas tersebut.

D. Manifestasi Klinik
Biasanya pada penderita yang sedang bebas serangan tidak ditemukan gejala klinis, tapi pada saat serangan penderita tampak bernafas cepat dan dalam, gelisah, duduk dengan menyangga ke depan, serta tanpa otot-otot bantu pernafasan bekerja dengan keras.
Gejala klasik dari asma bronkial ini adalah sesak nafas, mengi (whezing ), batuk, dan pada sebagian penderita ada yang merasa nyeri di dada. Gejala-gejala tersebut tidak selalu dijumpai bersamaan.
Pada serangan asma yang lebih berat, gejala-gejala yang timbul makin banyak, antara lain : silent chest, sianosis, gangguan kesadaran, hyperinflasi dada, tachicardi dan pernafasan cepat dangkal. Serangan asma seringkali terjadi pada malam hari.

E. Pemeriksaan laboratorium
1. Pemeriksaan sputum
Pemeriksaan sputum dilakukan untuk melihat adanya:
Kristal-kristal charcot leyden yang merupakan degranulasi dari kristal eosinopil.
Spiral curshmann, yakni yang merupakan cast cell (sel cetakan) dari cabang bronkus.
Creole yang merupakan fragmen dari epitel bronkus.
 Netrofil dan eosinopil yang terdapat pada sputum, umumnya bersifat mukoid dengan viskositas yang tinggi dan kadang terdapat mucus plug.
2. Pemeriksaan darah
Analisa gas darah pada umumnya normal akan tetapi dapat pula terjadi hipoksemia, hiperkapnia, atau asidosis.
Kadang pada darah terdapat peningkatan dari SGOT dan LDH.
Hiponatremia dan kadar leukosit kadang-kadang di atas 15.000/mm3 dimana menandakan terdapatnya suatu infeksi.
 Pada pemeriksaan faktor-faktor alergi terjadi peningkatan dari Ig E pada waktu serangan dan menurun pada waktu bebas dari serangan.

F. Pengkajian
Hal-hal yang perlu dikaji pada pasien asma adalah sebagai berikut:
Riwayat kesehatan yang lalu:
Kaji riwayat pribadi atau keluarga tentang penyakit paru sebelumnya.
Kaji riwayat reaksi alergi atau sensitifitas terhadap zat/ faktor lingkungan. 
Kaji riwayat pekerjaan pasien. 
Aktivitas :
Ketidakmampuan melakukan aktivitas karena sulit bernapas.
Adanya penurunan kemampuan/peningkatan kebutuhan bantuan melakukan aktivitas sehari-hari. 
Tidur dalam posisi duduk tinggi.
Pernapasan :
Dipsnea pada saat istirahat atau respon terhadap aktivitas atau latihan.
Napas memburuk ketika pasien berbaring terlentang ditempat tidur. 
Menggunakan obat bantu pernapasan, misalnya: meninggikan bahu, melebarkan hidung.
Adanya bunyi napas mengi. 
Adanya batuk berulang. 
Sirkulasi :
Adanya peningkatan tekanan darah. 
Adanya peningkatan frekuensi jantung. 
Warna kulit atau membran mukosa normal/ abu-abu/ sianosis.
Kemerahan atau berkeringat. 

Integritas ego :
Ansietas 
Ketakutan 
Peka rangsangan 
Gelisah
Asupan nutrisi :
Ketidakmampuan untuk makan karena distress pernapasan. 
Penurunan berat badan karena anoreksia. 
Hubungan sosial :
Keterbatasan mobilitas fisik. 
Susah bicara 
Adanya ketergantungan pada orang lain. 
Seksualitas :
Penurunan libido

G. Diagnosa dan Intervensi Keperawatan
Diagnosa-1:Tak efektif bersihan jalan nafas b/d bronkospasme.
Hasil yang diharapkan: mempertahankan jalan nafas paten dengan bunyi bersih dan jelas.
INTERVENSI RASIONAL :
a. Mandiri
Auskultasi bunyi nafas, catat adanya bunyi nafas, 
contoh : mengi
Kaji / pantau frekuensi pernafasan, catat rasio inspirasi / ekspirasi. 
Catat adanya derajat dispnea, ansietas, distress pernafasan,penggunaan obat bantu.
Tempatkan posisi yang nyaman pada pasien, 
contoh : meninggikan kepala tempat tidur , duduk pada sandaran tempat tidur
Pertahankan polusi lingkungan minimum,
contoh: debu, asap dll
Tingkatkan masukan cairan sampai dengan 3000 ml/ hari sesuai toleransi jantung, memberikan air hangat.
b. Kolaborasi
Berikan obat sesuai dengan indikasi bronkodilator. 
Beberapa derajat spasme bronkus terjadi dengan obstruksi jalan nafas.
 Tachipnea biasanya ada pada beberapa derajat dan dapat ditemukan pada penerimaan atau selama stress/ adanya proses infeksi akut.
Disfungsi pernafasan adalah variable yang tergantung pada tahap proses akut yang menimbulkan perawatan di rumah sakit.
Peninggian kepala tempat tid ur memudahkan fungsi pernafasan dengan menggunakan gravitasi.
 Hidrasi membantu menurunkan kekentalan sekret, penggunaan cairan hangat dapat menurunkan kekentalan sekret, penggunaan cairan hangat dapat menurunkan spasme bronkus.
Merelaksasikan otot halus dan menurunkan spasme jalan nafas, mengi, dan produksi mukosa. 
Diagnosa -2: Malnutrisi b/d anoreksia
Hasil yang diharapkan : menunjukkan peningkatan berat badan menuju tujuan yang tepat.
INTERVENSI RASIONALISASI :
a. Mandiri
Kaji kebiasaan diet, masukan makanan saat ini. Catat derajat kerusakan makanan.
Sering lakukan perawatan oral, buang sekret, berikan wadah khusus untuk sekali pakai.
b. Kolaborasi
Berikan oksigen tambahan selama makan sesuai indikasi.
Pasien distress pernafasan akut sering anoreksia karena dipsnea.
Rasa tak enak, bau menurunkan nafsu makan dan dapat menyebabkan mual/muntah dengan peningkatan kesulitan nafas. 
Menurunkan dipsnea dan meningkatkan energi untuk makan, meningkatkan masukan. 
Diagnosa-3: Kerusakan pertukaran gas b/d gangguan suplai oksigen (spasme bronkus)
Hasil yang diharapkan ; perbaikan ventilasi dan oksigen jaringan adekuat.
INTERVENSI RASIONALISASI :
a. Mandiri
Kaji/awasi secara rutin kulit dan membran mukosa. 
Awasi tanda vital dan irama jantung 
b. Kolaborasi
Berikan oksigen tambahan sesuai dengan indikasi hasil AGDA dan toleransi pasien. 
Sianosis mungkin perifer atau sentral keabu-abuan dan sianosis sentral mengindikasikan beratnya hipoksemia. 
Penurunan getaran vibrasi diduga adanya pengumpalan cairan/udara.
Tachicardi, disritmia, dan perubahan tekanan darah dapat menunjukan efek hipoksemia sistemik pada fungsi jantung.
Dapat memperbaiki atau mencegah memburuknya hipoksia. 
Diognasa-4: Risiko tinggi terhadap infeksi b/d tidak adekuat imunitas.
Hasil yang diharapkan :
- mengidentifikasikan intervensi untuk mencegah atau menurunkan resiko infeksi.
- Perubahan pola hidup untuk meningkatkan lingkungan yang nyaman.
INTERVENSI RASIONALISASI :
a. Mandiri
Awasi suhu. 
Diskusikan kebutuhan nutrisi adekuat 
b. Kolaborasi
Dapatkan specimen sputum dengan batuk atau pengisapan untuk pewarnaan gram,kultur/sensitifitas. 
Demam dapat terjadi karena infeksi dan atau dehidrasi. 
Malnutrisi dapat mempengaruhi kesehatan umum dan menurunkan tahanan terhadap infeksi 
untuk mengidentifikasi organisme penyebab dan kerentanan terhadap berbagai anti microbial
Diagnosa-5: Kurang pengetahuan b/d kurang informasi, salah mengerti.
menyatakan pemahaman kondisi/proses penyakit dan tindakan.Hasil yang diharapkan :
INTERVENSI RASIONALISASI :
Jelaskan tentang penyakit individu 
Diskusikan obat pernafasan, efek samping dan reaksi yang tidak diinginkan.
Tunjukkan tehnik penggunaan inhaler. 
Menurunkan ansietas dan dapat menimbulkan perbaikan partisipasi pada rencana pengobatan.
Penting bagi pasien memahami perbedaan antara efek samping mengganggu dan merugikan. 
DAFTAR PUSTAKA
Brunner & Suddart (2002) “Buku Ajar Keperawatan Medikal-Bedah”, Jakarta : AGC.
Doenges, M. E., Moorhouse, M. F. & Geissler, A. C. (2000) “Rencana Asuhan Keperawatan”, Jakarta : EGC.
Hudak & Gallo (1997) “Keperawatan Kritis Pendekatan Holistik”, Volume 1, Jakarta : EGC.
Price, S & Wilson, L. M. (1995) “Patofisiologi : Konsep Klinis Proses-proses Penyakit”, Jakarta : EGC.

ASUHAN KEPERAWATAN PADA KLIEN DENGAN CHF

A. Definisi
Gagal jantung Kongsetif adalah ketidakmampuan jantung untuk memompa darah dalam jumlah yang cukup untuk memenuhi kebutuhan jaringan terhadap oksigen dan nutrient dikarenakan adanya kelainan fungsi jantung yang berakibat jantung gagal memompa darah untuk memenuhi kebutuhan metabolisme jaringan dan atau kemampuannya hanya ada kalau disertai peninggian tekanan pengisian ventrikel kiri (Smeltzer & Bare, 2001).

B. Etiologi
 Kelainan otot jantung
Gagal jantung sering terjadi pada penderita kelainan otot jantung, disebabkan menurunnya kontraktilitas jantung. Kondisi yang mendasari penyebab kelainan fungsi otot jantung mencakup ateroslerosis koroner, hipertensi arterial dan penyakit degeneratif atau inflamasi
 Aterosklerosis koroner mengakibatkan disfungsi miokardium karena terganggunya aliran darah ke otot jantung. Terjadi hipoksia dan asidosis (akibat penumpukan asam laktat). Infark miokardium (kematian sel jantung) biasanya mendahului terjadinya gagal jantung. Peradangan dan penyakit miokardium degeneratif berhubungan dengan gagal jantung karena kondisi yang secara langsung merusak serabut jantung menyebabkan kontraktilitas menurun.
 Hipertensi Sistemik atau pulmunal (peningkatan after load) meningkatkan beban kerja jantung dan pada gilirannya mengakibatkan hipertrofi serabut otot jantung.
 Peradangan dan penyakit myocardium degeneratif, berhubungan dengan gagal jantung karena kondisi ini secara langsung merusak serabut jantung, menyebabkan kontraktilitas menurun.
 Penyakit jantung lain, terjadi sebagai akibat penyakit jantung yang sebenarnya, yang secara langsung mempengaruhi jantung. Mekanisme biasanya terlibat mencakup gangguan aliran darah yang masuk jantung (stenosis katub semiluner), ketidakmampuan jantung untuk mengisi darah (tamponade, pericardium, perikarditif konstriktif atau stenosis AV), peningkatan mendadak after load
 Faktor sistemik
Terdapat sejumlah besar factor yang berperan dalam perkembangan dan beratnya gagal jantung. Meningkatnya laju metabolisme (missal : demam, tirotoksikosis). Hipoksia dan anemi juga dapat menurunkan suplai oksigen ke jantung. Asidosis respiratorik atau metabolic dan abnormalita elektronik dapat menurunkan kontraktilitas jantung.

Grade gagal jantung menurut New York Heart Association, terbagi dalam 4 kelainan fungsional :
I. Timbul sesak pada aktifitas fisik berat
II. Timbul sesak pada aktifitas fisik sedang
III. Timbul sesak pada aktifitas fisik ringan
IV. Timbul sesak pada aktifitas fisik sangat ringan / istirahat

C. Patofisiologi
Jantung yang normal dapat berespon terhadap peningkatan kebutuhan metabolisme dengan menggunakan mekanisme kompensasi yang bervariasi untuk mempertahankan kardiak output, yaitu meliputi :
a. Respon system saraf simpatis terhadap barroreseptor atau kemoreseptor
b. Pengencangan dan pelebaran otot jantung untuk menyesuaikan terhadap peningkatan volume
c. Vaskontriksi arterirenal dan aktivasi system rennin angiotensin
d. Respon terhadap serum sodium dan regulasi ADH dan reabsorbsi terhadap cairan
Kegagalan mekanisme kompensasi dapat dipercepat oleh adanya volume darah sirkulasi yang dipompakan untuk melawan peningkatan resistensi vaskuler oleh pengencangan jantung. Kecepatan jantung memperpendek waktu pengisian ventrikel dari arteri coronaria. Menurunnya COP dan menyebabkan oksigenasi yang tidak adekuat ke miokardium. Peningkatan dinding akibat dilatasi menyebabkan peningkatan tuntutan oksigen dan pembesaran jantung (hipertrophi) terutama pada jantung iskemik atau kerusakan yang menyebabkan kegagalan mekanisme pemompaan.












D. Pathways
Disfungsi miocard beban sistol kebutuhan metabolisme
Kontraktilitas preload beban kerja jantung
Hambatan pengosongan ventrikel
Beban jantung
Gagal jantung kongestif
Gagal pompa ventrikel
Forward failuer back ward failure
Curah jantung ( COP) Tekanan vena pulmo
Suplai drh kejaringan renal flow tekanan kapiler paru
Nutrisi & O2 sel pelepasan RAA edema paru
Metabolisme sel retensi Na & air Gg. Pertukaran gas
Lemah & letih edema
Intoleransi aktifitas kelebihan volume cairan










E. Tanda dan Gejala
Tanda dominan :
Meningkatnya volume intravaskuler
Kongestif jaringan akibat tekanan arteri dan vena meningkat akibat penurunan curah jantung. Manifestasi kongesti berbeda tergantung pada kegagalan ventrikel mana yang terjadi.
Gagal Jantung Kiri :
Kongesti paru menonjol pada gagal ventrikel kiri karena ventrikel kiri tak mampu memompa darah yang dating dari paru. Manifestasi klinis yang terjadi yaitu :
 Dispnea, Terjadi akibat penimbunan cairan dalam alveoli dan mengganggu pertukaran gas. Dapat terjadi ortopnoe. Beberapa pasien dapat mengalami ortopnoe pada malam hari yang dinamakan Paroksimal Nokturnal Dispnea (PND)
 Batuk
 Mudah lelah, Terjadi karena curah jantung yang kurang yang menghambat jaringan dan sirkulasi normal dan oksigen serta menurunnya pembuangan sisa hasil katabolisme. Juga terjadi
 karena meningkatnya energi yang digunakan untuk bernafas dan insomnia yang terjadi karena distress pernafasan dan batuk
 Kegelisahan atau kecemasan, Terjadi karena akibat gangguan oksigenasi jaringan, stress akibat kesakitan bernafas dan pengetahuan bahwa jantung tidak berfungsi dengan baik
Gagal jantung Kanan :
 Kongestif jaringan perifer dan visceral
 Oedema ekstremitas bawah (oedema dependen), biasanya oedema pitting, penambahan BB.
 Hepatomegali dan nyeri tekan pada kuadran kanan atas abdomen terjadi akibat pembesaran vena hepar
 Anoreksia dan mual, terjadi akibat pembesaran vena dan statis vena dalam rongga abdomen
 Nokturia
 Kelemahan

F. Pemeriksaan Diagnostik
 Foto torax dapat mengungkapkan adanya pembesaran jantung, oedema atau efusi pleura yang menegaskan diagnosa CHF
 EKG dapat mengungkapkan adanya tachicardi, hipertrofi bilik jantung dan iskemi (jika disebabkan AMI), Ekokardiogram
 Pemeriksaan Lab meliputi : Elektrolit serum yang mengungkapkan kadar natrium yang rendah sehingga hasil hemodelusi darah dari adanya kelebihan retensi air, K, Na, Cl, Ureum, gula darah

G. Penatalaksanaan
Terapi Non Farmakologis
 Istirahat untuk mengurangi beban kerja jantung
 Oksigenasi
 Dukungan diit : pembatasan natrium untuk mencegah, mengontrol atau menghilangkan oedema.
Terapi Farmakologis :
-. Glikosida jantung
Digitalis, meningkatkan kekuatan kontraksi otot jantung dan memperlambat frekuensi jantung.
Efek yang dihasillkan : peningkatan curah jantung, penurunan tekanan vena dan volume darah dan peningkatan diurisi dan mengurangi oedema.
- Terapi diuretic, diberikan untuk memacu ekskresi natrium dan air melalui ginjal. Penggunaan harus hati-hati karena efek samping hiponatremia dan hipokalemia
- Terapi vasodilator, obat-obat fasoaktif digunakan untuk mengurangi impadasi tekanan terhadap penyemburan darah oleh ventrikel. Obat ini memperbaiki pengosongan ventrikel dan peningkatan kapasitas vena sehingga tekanan pengisian ventrikel kiri dapat diturunkan.
H. Proses keperawatan
1. Pengkajian
• Pengkajian Primer
 Airway :
batuk dengan atau tanpa sputum, penggunaan bantuan otot pernafasan, oksigen, dll
 Breathing :
Dispnea saat aktifitas, tidur sambil duduk atau dengan beberapa bantal
 Circulation :
Riwayat HT IM akut, GJK sebelumnya, penyakit katub jantung, anemia, syok dll. Tekanan darah, nadi, frekuensi jantung, irama jantung, nadi apical, bunyi jantung S3, gallop, nadi perifer berkurang, perubahan dalam denyutan nadi juguralis, warna kulit, kebiruan punggung, kuku pucat atau sianosis, hepar ada pembesaran, bunyi nafas krakles atau ronchi, oedema
• Pengkajian Sekunder
 Aktifitas/istirahat
Keletihan, insomnia, nyeri dada dengan aktifitas, gelisah, dispnea saat istirahat atau aktifitas, perubahan status mental, tanda vital berubah saat beraktifitas.
 Integritas ego : Ansietas, stress, marah, takut dan mudah tersinggung
 Eliminasi
Gejala penurunan berkemih, urin berwarna pekat, berkemih pada malam hari, diare / konstipasi
 Makanana/cairan
Kehilangan nafsu makan, mual, muntah, penambahan BB signifikan. Pembengkakan ekstremitas bawah, diit tinggi garam penggunaan diuretic distensi abdomen, oedema umum, dll
 Hygiene : Keletihan selama aktifitas perawatan diri, penampilan kurang.
 Neurosensori
Kelemahan, pusing, lethargi, perubahan perilaku dan mudah tersinggung.
 Nyeri/kenyamanan
Nyeri dada akut- kronik, nyeri abdomen, sakit pada otot, gelisah
 Interaksi social : penurunan aktifitas yang biasa dilakukan
2. Diagnosa Keperawatan
 Penurunan perfusi jaringan b.d menurunnya curah jantung, hipoksemia jaringan, asidosis dan kemungkinan thrombus atau emboli, kemungkinan dibuktikan oleh:
- Daerah perifer dingin, Nyeri dada
- EKG elevasi segmen ST dan Q patologis pada lead tertentu.
- RR lebih dari 24 kali per menit, Nadi  100 X/menit
- Kapiler refill lebih dari 3 detik
- Gambaran foto toraks terdapat pembesaran jantung dan kongestif paru
- HR lebih dari 100X/menit, TD  120/80 mmHg, AGD dengan : pa O2  80 mmHg, pa CO2  45 mmHg dan saturasi  80 mmHg.
- Terjadi peningkatan enzim jantung yaitu CK, AST, LDL/HDL
Tujuan :
Gangguan perfusi jaringan berkurang atau tidak meluas selama dilakukan tindakan perawatan
Kriteria :
Daerah perifer hangat, tidak sianosis,gambaran EKG tak menunjukkan perluasan infark, RR 16-24 X/mnt, clubbing finger (-), kapiler refill 3-5 detik, nadi 60-100X/mnt, TD 120/80 mmHg.
Rencana Tindakan :
- Monitor frekuensi dan irama jantung
- Observasi perubahan status mental
- Observasi warna dan suhu kulit/membran mukosa
- Ukur haluaran urin dan catat berat jenisnya
- Kolaborasi : berikan cairan IV sesuai indikasi
- Pantau pemeriksaan diagnostik dan lab. Missal EKG, elektrolit, GDA (pa O2, pa CO2 dan saturasi O2), dan pemeriksaan oksigen



 Bersihan jalan nafas tidak efektif b.d penumpukan sekret
Tujuan :
Jalan nafas efektif setelah dilakukan tindakan keperawatan selama di RS.
Kriteria hasil :
Tidak sesak nafas, RR normal (16-24 X/menit) , tidak ada secret, suara nafas normal
Intervensi :
- Catat frekuensi & kedalaman pernafasan, penggunaan otot Bantu pernafasan.
- Auskultasi paru untuk mengetahui penurunan/tidak adanya bunyi nafas dan adanya bunyi tambahan missal krakles, ronchi, dll
- Lakukan tindakan untuk memperbaiki/mempertahankan jalan nafas misal batuk, penghisapan lendir, dll
- Tinggikan kepala / mpat tidur sesuai kebutuhan / toleransi pasien
- Kaji toleransi aktifitas misal keluhan kelemahan/kelelahan selama kerja

 Kemungkinan terhadap kelebihan volume cairan ekstravaskuler b.d penurunan perfusi ginjal, peningkatan natrium / retensi air, peningkatan tekanan hidrostatik atau penurunan protein plasma ( menyerap cairan dalam area interstisial / jaringan
Tujuan :
Keseimbangan volume cairan dapat dipertahankan selama dilakukan tindakan keperawatan selama di rawat di RS
Kriteria :
Mempertahankan keseimbangan cairan seperti dibuktikan oleh tekanan darah dalam batas normal, tidak ada distensi vena perifer/vena dan oedema dependen, paru bersih dan BB ideal (BB ideal = TB – 100  10%)
Intervensi :
- Ukur masukan/haluaran, catat penurunan, pengeluaran, sifat konsentrasi, hitung keseimbangan cairan
- Observasi adanya oedema dependen
- Timbang BB tiap hari
- Pertahankan masukan cairan 2000 ml/24 jam dalam toleransi kardiovaskuler
- Kolaborasi : pemberian diit rendah natrium, berikan diuretic
- Kaji JVP setelah terapi diuretic
- Pantau CVP dan tekanan darah
 Pola nafas tidak efektif b.d penurunan volume paru, hepatomegali, splenomegali, kemungkinan dibuktikan oleh : perubahan kedalaman dan kecepatan pernafasan, gangguan pengembangan dada, GDA tidak normal.
Tujuan :
Pola nafas efektif setelah dilakukan tindakan keperawatab selama di RS, RR normal, tidak ada bunyi nafas tambahan dan penggunaan otot Bantu pernafasan dan GDA normal.
Intervensi :
- Monitor kedalaman pernafasan, frekuensi dan kespansi dada
- Catat upaya pernafasan termasuk penggunaan otot Bantu nafas
- Auskultasi bunyi nafas dan catat bila ada bunyi nafas tambahan
- Tinggikan kepala dan Bantu untuk mencapai posisi yang senyaman mungkin.
- Kolaborasi pemberian oksigen dan pemeriksaan GDA.
 Intoleransi aktifitas b.d ketidakseimbangan antar suplai oksigen miokard dan kebutuhan, adanya iskemik / nekrotik jaringan miokard, kemungkinan dibuktikan oleh : gangguan frekuensi jantung, tekanan darah dalam katifitas, terjadinya disritmia dan kelemahan umum.
Tujuan :
Terjadi peningkatan toleransi pada klien setelah dilaksanakan tindakan keperawatan.
Kriteria :
Frekuensi jantung 60-100 X/mnt, TD 120/80 mmHg
Intervensi :
- Catat frekuensi jantung, irama dan perubahan TD selama dan sesudah aktifitas
- Tingkatkan istirahat (ditempat tidur)
- Batasi aktifitas pada dasar nyeri dan berikan aktifitas sensori yang tidak berat
- Jelaskan pola peningkatan bertahap dari tingkat aktifitas, contoh bangun dari kursi bila tidak ada nyeri, ambulasi dan istirahat selama 1 jam setelah makan








DAFTAR PUSTAKA


1. Doengoes, Marilyn C, Rencana Asuhan Keperawatan: Pedoman untuk perencanaan dan pendokumentasian perawatan pasien, Edisi 3 Jakarta: EGC, 1999
2. Hudak, Gallo, Keperawatan Kritis: Pendekatan Holistik, Edisi IV, Jakarta, EGC: 1997
3. Price, Sylvia, Patofisiologi: Konsep Klinis Proses – Proses Penyakit, Edisi 4, Jakarta: EGC, 1999
4. Smeltzer, Bare, Buku Ajar keperawatan Medical Bedah, Bruner & Suddart, Edisi 8, Jakarta, EGC, 2001

ASUHAN KEPERAWATAN PADA KLIEN DENGAN GANGGUAN ISOLASI SOSIAL : MENARIK DIRI

I. KONSEP DASAR

Isolasi adalah keadaan dimana individu atau kelompok mengalami atau merasakan kebutuhan atau keinginan untuk meningkatkan keterlibatan dengan orang lain tetapi tidak mampu untuk membuat kontak ( Carpenito, 1998 )
Isolasi sosial adalah suatu keadaan kesepian yang dialami oleh seseorang karena orang lain menyatakan sikap yang negatif dan mengancam (Towsend,1998)
Seseorang dengan perilaku menarik diri akan menghindari interaksi dengan orang lain. Individu merasa bahwa ia kehilangan hubungan akrab dan tidak mempunyai kesempatan untuk membagi perasaan, pikiran dan prestasi atau kegagalan. Ia mempunyai kesulitan untuk berhubungan secara spontan dengan orang lain, yang dimanivestasikan dengan sikap memisahkan diri, tidak ada perhatian dan tidak sanggup membagi pengalaman dengan orang lain (DepKes, 1998).

II. FAKTOR PREDISPOSISI DAN PRESIPITASI
Faktor predisposisi terjadinya perilaku menarik diri adalah kegagalan perkembangan yang dapat mengakibatkan individu tidak percaya diri, tidak percaya orang lain, ragu takut salah, putus asa terhadap hubungan dengan orang lain, menghindar dari orang lain, tidak mampu merumuskan keinginan dan meresa tertekan.
Sedangkan faktor presipitasi dari faktor sosio-cultural karena menurunnya stabilitas keluarga dan berpisah karena meninggal dan fakto psikologis seperti berpisah dengan orang yang terdekat atau kegagalan orang lain untuk bergantung, merasa tidak berarti dalam keluarga sehingga menyebabkan klien berespons menghindar dengan menarik diri dari lingkungan (Stuart and sundeen, 1995).



III. TANDA DAN GEJALA
Observasi yang dilakukan pada klien akan ditemukan (data objektif) :
1. Apatis, ekspresi, afek tumpul.
2. Menghindar dari orang lain (menyendiri) klien tampak memisahkan diri dari orang lain.
3. Komunikasi kurang atau tidak ada. Klien tidak tampak bercakap-cakap dengan klien lain atau perawat.
4. Tidak ada kontak mata, klien lebih sering menunduk.
5. Berdiam diri di kamar/tempat berpisah – klien kurang mobilitasnya.
6. Menolak hubungan dengan orang lain – klien memutuskan percakapan atau pergi jika diajak bercakap-cakap.
7. Tidak melakukan kegiatan sehari-hari, artinya perawatan diri dan kegiatan rumah tangga sehari-hari tidak dilakukan.
8. Posisi janin pada saat tidur.
Data subjektif sukar didapat jika klien menolak berkomunikasi, beberapa data subjektif adalah menjawab dengan singkat kata-kata “tidak”, “ya”, “tidak tahu”.
IV. KAREKTERISTIK PERILAKU

• Gangguan pola makan : tidak nafsu makan atau makan berlebihan.
• Berat badan menurun atau meningkat secara drastis.
• Kemunduran secara fisik.
• Tidur berlebihan.
• Tinggal di tempat tidur dalam waktu yang lama.
• Banyak tidur siang.
• Kurang bergairah.
• Tidak memperdulikan lingkungan.
• Kegiatan menurun.
• Immobilisasai.
• Mondar-mandir (sikap mematung, melakukan gerakan berulang).
• Keinginan seksual menurun.

KONSEP DASAR ASUHAN KEPERAWATAN KESEHATAN JIWA PADA KLIEN DENGAN GANGGUAN ISOLASI SOSIAL ; MENARIK DIRI.

I. Deskripsi
Tanggapan atau deskripsi tentang isolasi yaitu suatu keadaan kesepian yang dialami oleh seseorang karena orang lain menyatakan sikap yang negatif dan mengancam (towsend, 1998).
Seseorang dengan perilaku menarik diri akan menghindari interaksi dengan orang lain.
II. Pengkajian
Pengelompokan data pada pengkajian kesehatan jiwa berupa faktor presipitasi, penilaian stressor , suberkoping yang dimiliki klien. Setiap melakukan pengajian ,tulis tempat klien dirawat da tanggal dirawat isi pengkajian meliputi :
a. Identitas Klien
Meliputi nama klien , umur , jenis kelamin , status perkawinan, agama, tangggal MRS , informan, tangggal pengkajian, No Rumah klien dan alamat klien.
b. Keluhan Utama
Keluhan biasanya berupa menyediri (menghindar dari orang lain) komunikasi kurang atau tidak ada , berdiam diri dikamar ,menolak interaksi dengan orang lain , tidak melakukan kegiatan sehari – hari , dependen.
c. Faktor predisposisi
kehilangan , perpisahan , penolakan orang tua ,harapan orang tua yang tidak realistis ,kegagalan / frustasi berulang , tekanan dari kelompok sebaya; perubahan struktur sosial.
Terjadi trauma yang tiba tiba misalnya harus dioperasi , kecelakaan dicerai suami , putus sekolah ,PHK, perasaan malu karena sesuatu yang terjadi ( korban perkosaan , tituduh kkn, dipenjara tiba – tiba) perlakuan orang lain yang tidak menghargai klien/ perasaan negatif terhadap diri sendiri yang berlangsung lama.
d. Aspek fisik / biologis
Hasil pengukuran tada vital (TD, Nadi, suhu, Pernapasan , TB, BB) dan keluhafisik yang dialami oleh klien.
e. Asfek Psikososial
1. Genogram yang menggambarkan tiga generasi
2. Konsep diri
a) citra tubuh :
Menolak melihat dan menyentuh bagian tubuh yang berubah atau tidak menerima perubahan tubuh yang telah terjadi atau yang akan terjadi.
Menolak penjelasan perubahan tubuh , persepsi negatip tentang tubuh .
Preokupasi dengan bagia tubuh yang hilang , mengungkapkan keputus asaan, mengungkapkan ketakutan.
b) Identitas diri
Ketidak pastian memandang diri , sukar menetapkan keinginan dan tidak mampu mengambil keputusan .

c) Peran
Berubah atau berhenti fungsi peran yang disebabkan penyakit , proses menua , putus sekolah, PHK.
d) Ideal diri
Mengungkapkan keputus asaan karena penyakitnya : mengungkapkan keinginan yang terlalu tinggi.
e) Harga diri
Perasaan malu terhadap diri sendiri , rasa bersalah terhadap diri sendiri , gangguan hubungan sosial , merendahkan martabat , mencederai diri, dan kurang percaya diri.
3. Klien mempunyai gangguan / hambatan dalam melakukan hubunga sosialdengan orang lain terdekat dalam kehidupan, kelempok yang diikuti dalam masyarakat.
4. kenyakinan klien terhadap tuhan dan kegiatan untuk ibadah ( spritual)
f. Status Mental
Kontak mata klien kurang /tidak dapat mepertahankan kontak mata , kurang dapat memulai pembicaraan , klien suka menyendiri dan kurang mampu berhubungan denga orang lain , Adanya perasaan keputusasaan dan kurang berharga dalam hidup.
g. Kebutuhan persiapan pulang.
1. Klien mampu menyiapkan dan membersihkan alat makan
2. Klien mampu BAB dan BAK, menggunakan dan membersihkan WC, membersikan dan merapikan pakaian.
3. Pada observasi mandi dan cara berpakaian klien terlihat rapi
4. Klien dapat melakukan istirahat dan tidur , dapat beraktivitas didalam dan diluar rumah
5). Klien dapat menjalankan program pengobatan dengan benar.
H. Mekanisme Koping
Klien apabila mendapat masalah takut atau tidak mau menceritakan nya pada orang orang lain( lebih sering menggunakan koping menarik diri)
I. Asfek Medik
Terapi yang diterima klien bisa berupa therapy farmakologi ECT, Psikomotor,therapy okopasional, TAK , dan rehabilitas.
III. Diagnosa Keperawatan
Diagnosa Keperawatan adalah identifikasi atau penilaian pola respons baik aktual maupun potensial (Stuart and Sundeen, 1995)
Masalah keperawatan yang sering muncul yang dapat disimpulkan dari pengkajian adalah sebagai berikut :
*. Isolasi sosial : menarik diri
*. Gangguan konsep diri: harga diri rendah
*. Resiko perubahan sensori persepsi
*. Koping individu yang efektif sampai dengan ketergantungan pada orang lain .
*. Gangguan komunikasi verbal, kurang komunikasi verbal.
*. Intoleransi aktifitas.
*. Kekerasan resiko tinggi.

IV. Pohon Masalah



Diagnosa Keperawatan
1. Resiko perubahan sensori persepsi berhubungan dengan menarik diri.
2. Isolasi sosial : menarik diri berhubungan dengan harga diri rendah
3. Gangguan harga diri : harga diri rendah berhubungan dengan tidak efektifnya koping individu : koping defensif.


V. Tindakan keperawatan
Tindakan keperawatan dalam asuhan keperawatan jiwa berbeda dengan tindakan keperawatan untuk klien dengan penyakit fisik di RSU dalam perawatan kesehatan jiwa. Perawat melakukan tindakan yang bertujuan untuk mengatasi penyebab dari masalah dan daftar masalah diatas dapat diambil salah satu. Contoh masalah keperawatan yaitu : resiko perubahan sensori persepsi berhubungan dengan isolasi sosial : menarik diri.
VI. Rencana Intervensi
Rencana tindakan keperawatan terdiri 3 asfek utama yaitu :
a. tujuan umum
berfokus pada penyelesaian permasalahan dari diagnosa. Tujuan umum dapat dicapai jika serangkaia tujuan khusus dapat dicapai.
b. tujuan khusus
berfokus pada penyelesaian etiologi dari diagnosa. Tujuan khusus merupakan rumusan kemampuan klien yang perlu dicapai atau dimiliki klien .umumnya kemampuan pada tujuan khusus dapat dibagi menjadi 3 aspek (stuart & sundeen ,1995) yaitu : kemampuan kognitif yang diperlukan untuk menyelesaikan etiologi dari diagnosa keperawatan ,kemampuan psikomotor yang diperlukan agar etiologi dapat selesai dan kemampuan afektif yang perlu dimiliki agar klien percaya akan kemampuan menyelesaiakan masalah.
c. Rencana tindakan keperawatan
Tindakan keperawatan merupakan serangkaian tindakan yang dapat mencapai tujuan khusus. tindakan keperawatan menggambarkan tindakan keperawatan mandiri, kerjasama dengan klien, keluarga, kelompok dan kolaborasi dengan tim kesehatan jiwa lainnya.
VII. Kriteria Evaluasi keperawatan
Kriteria evaluasi dibuat berdasarkan pada tujuan khusus yang terdiri dari beberapa tujuan , masing tujuan tersebut ada kriteria evaluasinya .

Daftar Pustaka

Carpenito, lynda Juall. 1998. Buku saku buku kedokteran EGC : jakarta.

Keliat, B.A. 1999. Proses keperawatan kesehatan jiwa, penerbit buku kedokteran EGC : diagnosa keperawatan , Edisi 6, penerbit Jakarta.

Short, G.W dan Sandra, J. Sunden. 1998. Buku Saku Keperawatan Jiwa, Edisi 3, penerbit buku kedokteran EGC: Jakarta.

Towsend, Mary C. 1998. Buku saku Diagnosa keperawatan psikiatri untuk pembuatan rencana keperawatan, Edisi 3, Penerbit buku kedokteran EGC: Jakarta.

-----------, 1998. Buku Standart keperawatan Kesehatan Jiwa dan penerapan asuhan keperawatan pada kasus di Rumah Sakit Ketergantungan obat, Direktorat kesehatan jiwa Direktorat Jenderal Pelayanan medik, Dep-kes RI, Jakarta.

Maramis, Wf. (1995) Ilmu Kedokteran Jiwa. Airlangga University press : Surabaya.

http://khaidirmuhaj.blogspot.com/2009/05/askep-menarik-diri.html
CKD ( CHRONIC KIDNEY DISEASE )

A. PENGERTIAN
Gagal ginjal kronik (GGK) biasanya akibat akhir dari kehilangan fungsi ginjal lanjut secara bertahap (Doenges, 1999; 626)
Gagal ginjal kronis atau penyakit renal tahap akhir (ESRD) merupakan gangguan fungsi renal yang progresif dan irreversible dimana kemampuan tubuh gagal untuk mempertahankan metabolisme dan keseimbangan cairan dan elektrolit,menyebabkan uremia (retensi urea dan sampah nitrogen lain dalam darah). (Brunner & Suddarth, 2001; 1448)
Gagal ginjal kronik merupakan perkembangan gagal ginjal yang progresif dan lambat,biasanya berlangsung beberapa tahun. (Price, 1992; 812)
Sesuai dengan topik yang saya tulis didepan cronic kidney disease ( CKD ),pada dasarnya pengelolaan tidak jauh beda dengan cronoic renal failure ( CRF ), namun pada terminologi akhir CKD lebih baik dalam rangka untuk membatasi kelainan klien pada kasus secara dini, kerena dengan CKD dibagi 5 grade, dengan harapan klien datang/merasa masih dalam stage – stage awal yaitu 1 dan 2. secara konsep CKD, untuk menentukan derajat ( stage ) menggunakan terminology CCT ( clearance creatinin test ) dengan rumus stage 1 sampai stage 5. sedangkan CRF ( cronic renal failure ) hanya 3 stage. Secara umum ditentukan klien datang dengan derajat 2 dan 3 atau datang dengan terminal stage bila menggunakan istilah CRF.

B. ETIOLOGI
• Infeksi misalnya pielonefritis kronik, glomerulonefritis
• Penyakit vaskuler hipertensif misalnya nefrosklerosis benigna, nefrosklerosis maligna, stenosis arteria renalis
• Gangguan jaringan penyambung misalnya lupus eritematosus sistemik, poliarteritis nodosa,sklerosis sistemik progresif
• Gangguan kongenital dan herediter misalnya penyakit ginjal polikistik,asidosis tubulus ginjal
• Penyakit metabolik misalnya DM,gout,hiperparatiroidisme,amiloidosis
• Nefropati toksik misalnya penyalahgunaan analgesik,nefropati timbal
• Nefropati obstruktif misalnya saluran kemih bagian atas: kalkuli neoplasma, fibrosis netroperitoneal. Saluran kemih bagian bawah: hipertropi prostat, striktur uretra, anomali kongenital pada leher kandung kemih dan uretra.
• Batu saluran kencing yang menyebabkan hidrolityasis

C. PATOFISIOLOGI
Pada waktu terjadi kegagalan ginjal sebagian nefron (termasuk glomerulus dan tubulus) diduga utuh sedangkan yang lain rusak (hipotesa nefron utuh). Nefron-nefron yang utuh hipertrofi dan memproduksi volume filtrasi yang meningkat disertai reabsorpsi walaupun dalam keadaan penurunan GFR / daya saring. Metode adaptif ini memungkinkan ginjal untuk berfungsi sampai ¾ dari nefron–nefron rusak. Beban bahan yang harus dilarut menjadi lebih besar daripada yang bisa direabsorpsi berakibat diuresis osmotik disertai poliuri dan haus. Selanjutnya karena jumlah nefron yang rusak bertambah banyak oliguri timbul disertai retensi produk sisa. Titik dimana timbulnya gejala-gejala pada pasien menjadi lebih jelas dan muncul gejala-gejala khas kegagalan ginjal bila kira-kira fungsi ginjal telah hilang 80% - 90%. Pada tingkat ini fungsi renal yang demikian nilai kreatinin clearance turun sampai 15 ml/menit atau lebih rendah itu. ( Barbara C Long, 1996, 368)
Fungsi renal menurun, produk akhir metabolisme protein (yang normalnya diekskresikan ke dalam urin) tertimbun dalam darah. Terjadi uremia dan mempengaruhi setiap sistem tubuh. Semakin banyak timbunan produk sampah maka gejala akan semakin berat. Banyak gejala uremia membaik setelah dialisis. (Brunner & Suddarth, 2001 : 1448).
Klasifikasi
Gagal ginjal kronik dibagi 3 stadium :
- Stadium 1 : penurunan cadangan ginjal, pada stadium kadar kreatinin serum normal dan penderita asimptomatik.
- Stadium 2 : insufisiensi ginjal, dimana lebihb dari 75 % jaringan telah rusak, Blood Urea Nitrogen ( BUN ) meningkat, dan kreatinin serum meningkat.
- Stadium 3 : gagal ginjal stadium akhir atau uremia.
K/DOQI merekomendasikan pembagian CKD berdasarkan stadium dari tingkat penurunan LFG :
- Stadium 1 : kelainan ginjal yang ditandai dengan albuminaria persisten dan LFG yang masih normal ( > 90 ml / menit / 1,73 m2
- Stadium 2 : Kelainan ginjal dengan albuminaria persisten dan LFG antara 60-89 mL/menit/1,73 m2
- Stadium 3 : kelainan ginjal dengan LFG antara 30-59 mL/menit/1,73m2
- Stadium 4 : kelainan ginjal dengan LFG antara 15-29mL/menit/1,73m2
- Stadium5 : kelainan ginjal dengan LFG < 15mL/menit/1,73m2 atau gagal ginjal terminal.
Untuk menilai GFR ( Glomelular Filtration Rate ) / CCT ( Clearance Creatinin Test ) dapat digunakan dengan rumus :
Clearance creatinin ( ml/ menit ) = ( 140-umur ) x berat badan ( kg )
72 x creatini serum
Pada wanita hasil tersebut dikalikan dengan 0,85




MANIFESTASI KLINIS
1. Manifestasi klinik antara lain (Long, 1996 : 369):
a. Gejala dini : lethargi, sakit kepala, kelelahan fisik dan mental, berat badan berkurang, mudah tersinggung, depresi
b. Gejala yang lebih lanjut : anoreksia, mual disertai muntah, nafas dangkal atau sesak nafas baik waktui ada kegiatan atau tidak, udem yang disertai lekukan, pruritis mungkin tidak ada tapi mungkin juga sangat parah.
2. Manifestasi klinik menurut (Smeltzer, 2001 : 1449) antara lain : hipertensi, (akibat retensi cairan dan natrium dari aktivitas sisyem renin - angiotensin – aldosteron), gagal jantung kongestif dan udem pulmoner (akibat cairan berlebihan) dan perikarditis (akibat iriotasi pada lapisan perikardial oleh toksik, pruritis, anoreksia, mual, muntah, dan cegukan, kedutan otot, kejang, perubahan tingkat kesadaran, tidak mampu berkonsentrasi).
3. Manifestasi klinik menurut Suyono (2001) adalah sebagai berikut:
a. Gangguan kardiovaskuler
Hipertensi, nyeri dada, dan sesak nafas akibat perikarditis, effusi perikardiac dan gagal jantung akibat penimbunan cairan, gangguan irama jantung dan edema.
b. Gannguan Pulmoner
Nafas dangkal, kussmaul, batuk dengan sputum kental dan riak, suara krekels.
c. Gangguan gastrointestinal
Anoreksia, nausea, dan fomitus yang berhubungan dengan metabolisme protein dalam usus, perdarahan pada saluran gastrointestinal, ulserasi dan perdarahan mulut, nafas bau ammonia.
d. Gangguan muskuloskeletal
Resiles leg sindrom ( pegal pada kakinya sehingga selalu digerakan ), burning feet syndrom ( rasa kesemutan dan terbakar, terutama ditelapak kaki ), tremor, miopati ( kelemahan dan hipertropi otot – otot ekstremitas.
e. Gangguan Integumen
kulit berwarna pucat akibat anemia dan kekuning – kuningan akibat penimbunan urokrom, gatal – gatal akibat toksik, kuku tipis dan rapuh.
f. Gangguan endokrim
Gangguan seksual : libido fertilitas dan ereksi menurun, gangguan menstruasi dan aminore. Gangguan metabolic glukosa, gangguan metabolic lemak dan vitamin D.
g. Gangguan cairan elektrolit dan keseimbangan asam dan basa
biasanya retensi garam dan air tetapi dapat juga terjadi kehilangan natrium dan dehidrasi, asidosis, hiperkalemia, hipomagnesemia, hipokalsemia.
h. System hematologi
anemia yang disebabkan karena berkurangnya produksi eritopoetin, sehingga rangsangan eritopoesis pada sum – sum tulang berkurang, hemolisis akibat berkurangnya masa hidup eritrosit dalam suasana uremia toksik, dapat juga terjadi gangguan fungsi trombosis dan trombositopeni.

D. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Didalam memberikan pelayanan keperawatan terutama intervensi maka perlu pemeriksaan penunjang yang dibutuhkan baik secara medis ataupun kolaborasi antara lain :
1.Pemeriksaan lab.darah
- hematologi
Hb, Ht, Eritrosit, Lekosit, Trombosit
- RFT ( renal fungsi test )
ureum dan kreatinin
- LFT (liver fungsi test )
- Elektrolit
Klorida, kalium, kalsium
- koagulasi studi
PTT, PTTK
- BGA
2. Urine
- urine rutin
- urin khusus : benda keton, analisa kristal batu
3. pemeriksaan kardiovaskuler
- ECG
- ECO
4. Radidiagnostik
- USG abdominal
- CT scan abdominal
- BNO/IVP, FPA
- Renogram
- RPG ( retio pielografi )

E. PENATALAKSANAAN KEPERAWATAN
Penatalaksanaan keperawatan pada pasien dengan CKD dibagi tiga yaitu :
a) Konservatif
- Dilakukan pemeriksaan lab.darah dan urin
- Observasi balance cairan
- Observasi adanya odema
- Batasi cairan yang masuk
b) Dialysis
- peritoneal dialysis
biasanya dilakukan pada kasus – kasus emergency.
Sedangkan dialysis yang bisa dilakukan dimana saja yang tidak bersifat akut adalah CAPD ( Continues Ambulatori Peritonial Dialysis )
- Hemodialisis
Yaitu dialisis yang dilakukan melalui tindakan infasif di vena dengan menggunakan mesin. Pada awalnya hemodiliasis dilakukan melalui daerah femoralis namun untuk mempermudah maka dilakukan :
- AV fistule : menggabungkan vena dan arteri
- Double lumen : langsung pada daerah jantung ( vaskularisasi ke jantung )
c) Operasi
- Pengambilan batu
- transplantasi ginjal




















I. DIAGNOSA KEPERAWATAN
Menurut Doenges (1999) dan Lynda Juall (2000), diagnosa keperawatan yang muncul pada pasien CKD adalah:
1. Penurunan curah jantung
2. Gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit
3. Perubahan nutrisi
4. Perubahan pola nafas
5. Gangguan perfusi jaringan
6. Intoleransi aktivitas
7. kurang pengetahuan tentang tindakan medis
8. resti terjadinya infeksi

J. INTERVENSI
1. Penurunan curah jantung berhubungan dengan beban jantung yang meningkat
Tujuan:
Penurunan curah jantung tidak terjadi dengan kriteria hasil :
mempertahankan curah jantung dengan bukti tekanan darah dan frekuensi jantung dalam batas normal, nadi perifer kuat dan sama dengan waktu pengisian kapiler
Intervensi:
a. Auskultasi bunyi jantung dan paru
R: Adanya takikardia frekuensi jantung tidak teratur
b. Kaji adanya hipertensi
R: Hipertensi dapat terjadi karena gangguan pada sistem aldosteron-renin-angiotensin (disebabkan oleh disfungsi ginjal)
c. Selidiki keluhan nyeri dada, perhatikanlokasi, rediasi, beratnya (skala 0-10)
R: HT dan GGK dapat menyebabkan nyeri
d. Kaji tingkat aktivitas, respon terhadap aktivitas
R: Kelelahan dapat menyertai GGK juga anemia
2. Gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit berhubungan dengan edema sekunder : volume cairan tidak seimbang oleh karena retensi Na dan H2O)
Tujuan: Mempertahankan berat tubuh ideal tanpa kelebihan cairan dengan kriteria hasil: tidak ada edema, keseimbangan antara input dan output
Intervensi:
a. Kaji status cairan dengan menimbang BB perhari, keseimbangan masukan dan haluaran, turgor kulit tanda-tanda vital
b. Batasi masukan cairan
R: Pembatasan cairan akn menentukan BB ideal, haluaran urin, dan respon terhadap terapi
c. Jelaskan pada pasien dan keluarga tentang pembatasan cairan
R: Pemahaman meningkatkan kerjasama pasien dan keluarga dalam pembatasan cairan
d. Anjurkan pasien / ajari pasien untuk mencatat penggunaan cairan terutama pemasukan dan haluaran
R: Untuk mengetahui keseimbangan input dan output

3. Perubahan nutrisi: kurang dari kebutuhan berhubungan dengan anoreksia, mual, muntah
Tujuan: Mempertahankan masukan nutrisi yang adekuat dengan kriteria hasil: menunjukan BB stabil
Intervensi:
a. Awasi konsumsi makanan / cairan
R: Mengidentifikasi kekurangan nutrisi
b. Perhatikan adanya mual dan muntah
R: Gejala yang menyertai akumulasi toksin endogen yang dapat mengubah atau menurunkan pemasukan dan memerlukan intervensi
c. Beikan makanan sedikit tapi sering
R: Porsi lebih kecil dapat meningkatkan masukan makanan
d. Tingkatkan kunjungan oleh orang terdekat selama makan
R: Memberikan pengalihan dan meningkatkan aspek sosial
e. Berikan perawatan mulut sering
R: Menurunkan ketidaknyamanan stomatitis oral dan rasa tak disukai dalam mulut yang dapat mempengaruhi masukan makanan

4. Perubahan pola nafas berhubungan dengan hiperventilasi sekunder: kompensasi melalui alkalosis respiratorik
Tujuan: Pola nafas kembali normal / stabil
Intervensi:
a. Auskultasi bunyi nafas, catat adanya crakles
R: Menyatakan adanya pengumpulan sekret
b. Ajarkan pasien batuk efektif dan nafas dalam
R: Membersihkan jalan nafas dan memudahkan aliran O2
c. Atur posisi senyaman mungkin
R: Mencegah terjadinya sesak nafas
d. Batasi untuk beraktivitas
R: Mengurangi beban kerja dan mencegah terjadinya sesak atau hipoksia

5. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan pruritis
Tujuan: Integritas kulit dapat terjaga dengan kriteria hasil :
- Mempertahankan kulit utuh
- Menunjukan perilaku / teknik untuk mencegah kerusakan kulit
Intervensi:
a. Inspeksi kulit terhadap perubahan warna, turgor, vaskuler, perhatikan kadanya kemerahan
R: Menandakan area sirkulasi buruk atau kerusakan yang dapat menimbulkan pembentukan dekubitus / infeksi.
b. Pantau masukan cairan dan hidrasi kulit dan membran mukosa
R: Mendeteksi adanya dehidrasi atau hidrasi berlebihan yang mempengaruhi sirkulasi dan integritas jaringan
c. Inspeksi area tergantung terhadap udem
R: Jaringan udem lebih cenderung rusak / robek
d. Ubah posisi sesering mungkin
R: Menurunkan tekanan pada udem , jaringan dengan perfusi buruk untuk menurunkan iskemia
e. Berikan perawatan kulit
R: Mengurangi pengeringan , robekan kulit
f. Pertahankan linen kering
R: Menurunkan iritasi dermal dan risiko kerusakan kulit
g. Anjurkan pasien menggunakan kompres lembab dan dingin untuk memberikan tekanan pada area pruritis
R: Menghilangkan ketidaknyamanan dan menurunkan risiko cedera
h. Anjurkan memakai pakaian katun longgar
R: Mencegah iritasi dermal langsung dan meningkatkan evaporasi lembab pada kulit

6. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan oksigenasi jaringan yang tidak adekuat, keletihan
Tujuan: Pasien dapat meningkatkan aktivitas yang dapat ditoleransi
Intervensi:
a. Pantau pasien untuk melakukan aktivitas
b. Kaji fektor yang menyebabkan keletihan
c. Anjurkan aktivitas alternatif sambil istirahat
d. Pertahankan status nutrisi yang adekuat

7. Kurang pengetahuan tentang kondisi, prognosis dan tindakan medis (hemodialisa) b.d salah interpretasi informasi.
a. Kaji ulang penyakit/prognosis dan kemungkinan yang akan dialami.
b. Beri pendidikan kesehatan mengenai pengertian, penyebab, tanda dan gejala CKD serta penatalaksanaannya (tindakan hemodialisa ).
c. Libatkan keluarga dalam memberikan tindakan.
d. Anjurkan keluarga untuk memberikan support system.
e. Evaluasi pasien dan keluarga setelah diberikan penkes.
























DAFTAR PUSTAKA

Carpenito, Lynda Juall. (2000). Buku Saku Diagnosa Keperawatan. Edisi 8. Jakarta : EGC

Doenges E, Marilynn, dkk. (1999). Rencana Asuhan Keperawatan : Pedoman Untuk Perancanaan dan Pendokumentasian Perawatan Pasien. Edisi 3. Jakarta : EGC

Long, B C. (1996). Perawatan Medikal Bedah (Suatu Pendekatan Proses Keperawatan) Jilid 3. Bandung : Yayasan Ikatan Alumni Pendidikan Keperawatan

Price, Sylvia A dan Lorraine M Wilson. (1995). Patofisiologi Konsep Kllinis Proses-proses Penyakit. Edisi 4. Jakarta : EGC

Smeltzer, Suzanne C dan Brenda G Bare. (2001). Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner & Suddarth. Edisi 8. Jakarta :EGC

Suyono, Slamet. (2001). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi 3. Jilid I II. Jakarta.: Balai Penerbit FKUI

ASKEP TUMOR COLLI

A. KONSEP DASAR
1. Pengertian Tumor
Dalam pengertian umum tumor adalah benjolan atau pembengkakan dalam tubuh. Dalam pengertian khusus tumor adalah benjolan yang disebabkan oleh neoplasma.
2. Etiologi
Karsinogen kimiawi dapat alami atau sintetik, misalnya Aflatoksin B1 pada kacang, vinylklorida pada industri plastik, benzoapiran pada asap kendaraan bermotor, kemoterapi dalam kesehatan.
Karsinogen fisik, misalnya sinoar ionisasi pada nuklir, sinar radioaktif, sinar ultraviolet
Hormon, misalnya estrogen
Viral, misalnya TBL-I, HBV, HPV, EBV
Gaya hidup, misalnya diet, merokok, alcohol
Parasit, misalnya schistoma hematobium
Genetik
Penurunan imunitas
3. Klasifikasi Tumor
Neoplasma dapat bersifat ganas atau jinak. Neoplasma ganas atau kanker terjadi karena timbul dan berkembang biaknya sel-sel secara tidak terkendali sehingga sel-sel ini tumbuh terus merusak bentuk dan organ tempat tumbuh kanker.
Neoplasma jinak tumbuh dengan batas tegas dan tidak menyusup, tidak merusak tetapi membesar dan menekan jaringan sekitarnya (ekspansif) dan umumnya tidak bermetastase
Klassifikasi patologik tumor dibuat berdasarkan hasil pemeriksaan mikroskopis pada jaringan dan tumor
4. Patofisiologi Tumor
Sel tumor ialah sel tubuh yang mengalami transformasi dan tumbuh secara autonom lepas dari kendali pertumbuhan sel normal sehingga sel ini berbeda dari sel normal dalam bentuk dan strukturnya. Perbedaan sifat sel tumor tergantung dari besarnya penyimpangan dalam bentuk dan fungsinya, autonominya dalam pertumbuhan, kemampuan dalam berinfiltrasi dan menyebabkan metastase
Pada umumnya tumor mulai tumbuh dari satu sel di suatu tempat (unisentrik), tetapi kadang tumor berasal dari beberapa sel dalam satu organ (multisentrik) atau dari beberapa organ (multiokuler) pada waktu bersamaan (sinkron) atau berbeda (metakron).
Selama pertumbuhan tumor masih terbatas pada organ tempat asalnya maka tumor dikatakan mencapai tahap local, namum bilatelah infiltrasi ke organ sekitarnya dikatakan mencapai tahap invasive atau infiltratif .
Sel tumor bersifat tumbuh terus sehingga makin lama makin besar dan mendesak jaringan sekitarnya. Pada neoplasma sel tumbuh sambil menyusup dan merembes ke jaringan sekitarnya dan dapat meninggalkan sel induk masuk ke pembuluh darah atau pembuluh limfe, sehingga terjadi penyebaran hematogen dan limfatogen.
5. Tumor Colli
Tumor pada colli (leher) bisa berupa tumor jinak atau tumor ganas.
Tumor jinak bisa berupa kista, hemangioma.
Tumor ganas bisa berupa Limfoma Non Hodgkin..
6. Pemeriksaan
Berbagai penyakit dapat tampil sebahgai tumor leher sering membingungkan. Pada pemeriksaan khususnya diperhatikan letak tumor, ukuran, bentuk dan sifat permukaan.
Diagnosis ditentukan dengan pemeriksaan makroskopis dan mikroskopis dari jaringan hasil eksisi atau biopsy
Pemeriksaan dengan CT Scan dapat pula dilakukan.
B. ASUHAN KEPERAWATAN
1. PENGKAJIAN KEPERAWATAN
a. Sistem Integumen
1) Perhatikan : nyeri, bengkak, flebitis, ulkus
2) Inspeksi kemerahan & gatal, eritema
3) Perhatikan pigmentasi kulit
4) Kondisi gusi, gigi, mukosa & lidah
b. Sistem Gastrointestinalis
1) Kaji frekwensi, mulai, durasi, berat ringannya mual & muntah setelah pemberian kemotherapi
2) Observasi perubahan keseimbangan cairan & elektrolit
3) Kaji diare & konstipasi
4) Kaji anoreksia
5) Kaji : jaundice, nyeri abdomen kuadran atas kanan
c. Sistem Hematopoetik
1) Kaji Netropenia
Kaji tanda infeksi
Auskultasi paru
Perhatikan batuk produktif & nafas dispnoe
Kaji suhu
2) Kaji Trombositopenia : < 50.000/m3 – menengah, < 20.000/m3 – berat
3) Kaji Anemia
Warna kulit, capilarry refill
Dispnoe, lemah, palpitasi, vertigo
d. Sistem Respiratorik & Kardiovaskular
1) Kaji terhadap fibrosis paru yang ditandai : Dispnoe, kering, batuk non produktif – terutama bleomisin
2) Kaji tanda CHF
3) Lakukan pemeriksaan EKG
e. Sistem Neuromuskular
1) Perhatikan adanya perubahan aktifitas motorik
2) Perhatikan adanya parestesia
3) Evaluasi refleks
4) Kaji ataksia, lemah, menyeret kaki
5) Kaji gangguan pendengaran
6) Diskusikan ADL
f. Sistem genitourinari
1) Kaji frekwensi BAK
2) Perhatikan bau, warna, kekeruhan urine
3) Kaji : hematuria, oliguria, anuria
4) Monitor BUN, kreatinin
2. Diagnosa Keperawatan
a. Resiko infeksi berhubungan dengan menurunnya sistem pertahanan tubuh
b. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan kelemahan akibat anemia
c. Resiko terhadap perdarahan yang berhubungan dengan penurunan jumlah trombosit
d. Resiko tinggi kekurangan volume cairan berhubungan dengan mual dan muntah
e. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh yang berhubungan dengan anoreksia, malaise, mual dan muntah, efek samping kemoterapi dan atau stomatitis
f. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan pemberian agens kemoterapi, radioterapi, imobilitas.
g. Gangguan citra tubuh berhubungan dengan alopesia atau perubahan cepat pada penampilan.
2. Intervensi Keperawatan
a. Resiko infeksi berhubungan dengan menurunnya sistem pertahanan tubuh
Tujuan : Anak tidak mengalami gejala-gejala infeksi
Intervensi :
1). Pantau suhu dengan teliti
Rasional : untuk mendeteksi kemungkinan infeksi
2). Tempatkan anak dalam ruangan khusus
Rasional : untuk meminimalkan terpaparnya anak dari sumber infeksi
3). Anjurkan semua pengunjung dan staff rumah sakit untuk melaksanakan teknik mencuci tangan dengan baik
Rasional : untuk meminimalkan pajanan pada organisme infektif
4). Gunakan teknik aseptik yang cermat untuk semua prosedur invasif
Rasional : untuk mencegah kontaminasi silang/menurunkan resiko infeksi
5). Evaluasi keadaan anak terhadap tempat-tempat munculnya infeksi seperti tempat penusukan jarum, ulserasi mukosa, dan masalah gigi
Rasional : untuk intervensi dini penanganan infeksi
6). Inspeksi membran mukosa mulut. Bersihkan mulut dengan baik
Rasional : rongga mulut adalah medium yang baik untuk pertumbuhan organisme
7). Berikan periode istirahat tanpa gangguan
Rasional : menambah energi untuk penyembuhan dan regenerasi seluler
8). Berikan diet lengkap nutrisi sesuai usia
Rasional : untuk mendukung pertahanan alami tubuh
9). Berikan antibiotik sesuai ketentuan
Rasional : diberikan sebagai profilaktik atau mengobati infeksi khusus
b. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan kelemahan akibat anemia
Tujuan : terjadi peningkatan toleransi aktifitas
Intervensi :
1). Evaluasi laporan kelemahan, perhatikan ketidakmampuan untuk berpartisipasi dala aktifitas sehari-hari
Rasional : menentukan derajat dan efek ketidakmampuan
2). Berikan lingkungan tenang dan perlu istirahat tanpa gangguan
Rasional: menghemat energi untuk aktifitas dan regenerasi seluler atau penyambungan jaringan
3). Kaji kemampuan untuk berpartisipasi pada aktifitas yang diinginkan atau dibutuhkan
Rasional : mengidentifikasi kebutuhan individual dan membantu pemilihan intervensi
4). Berikan bantuan dalam aktifitas sehari-hari dan ambulasi
Rasional : memaksimalkan sediaan energi untuk tugas perawatan diri
c. Resiko tinggi kekurangan volume cairan berhubungan dengan mual dan muntah
Tujuan : – Tidak terjadi kekurangan volume cairan
-Pasien tidak mengalami mual dan muntah
Intervensi :
1). Berikan antiemetik awal sebelum dimulainya kemoterapi
Rasional : untuk mencegah mual dan muntah
2). Berikan antiemetik secara teratur pada waktu dan program kemoterapi
Rasional : untuk mencegah episode berulang
3). Kaji respon anak terhadap anti emetik
Rasional : karena tidak ada obat antiemetik yang secara umum berhasil
4). Hindari memberikan makanan yang beraroma menyengat
Rasional : bau yang menyengat dapat menimbulkan mual dan muntah
5). Anjurkan makan dalam porsi kecil tapi sering
Rasional : karena jumlah kecil biasanya ditoleransi dengan baik
6). Berikan cairan intravena sesuai ketentuan
Rasional : untuk mempertahankan hidrasi
d. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh yang berhubungan dengan anoreksia, malaise, mual dan muntah, efek samping kemoterapi dan atau stomatitis
Tujuan : pasien mendapat nutrisi yang adekuat
Intervensi :
1). Dorong orang tua untuk tetap rileks pada saat anak makan
Rasional : jelaskan bahwa hilangnya nafsu makan adalah akibat langsung dari mual dan muntah serta kemoterapi
2). Izinkan anak memakan semua makanan yang dapat ditoleransi, rencanakan untuk memperbaiki kualitas gizi pada saat selera makan anak meningkat
Rasional : untuk mempertahankan nutrisi yang optimal
3). Berikan makanan yang disertai suplemen nutrisi gizi, seperti susu bubuk atau suplemen yang dijual bebas
Rasional : untuk memaksimalkan kualitas intake nutrisi
4). Izinkan anak untuk terlibat dalam persiapan dan pemilihan makanan
Rasional : untuk mendorong agar anak mau makan
5). Dorong masukan nutrisi dengan jumlah sedikit tapi sering
Rasional : karena jumlah yang kecil biasanya ditoleransi dengan baik
6). Dorong pasien untuk makan diet tinggi kalori kaya nutrient
Rasional : kebutuhan jaringan metabolik ditingkatkan begitu juga cairan untuk menghilangkan produk sisa suplemen dapat memainkan peranan penting dalam mempertahankan masukan kalori dan protein yang adekuat
7). Timbang BB, ukur TB dan ketebalan lipatan kulit trisep
Rasional : membantu dalam mengidentifikasi malnutrisi protein kalori, khususnya bila BB dan pengukuran antropometri kurang dari normal
e. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan pemberian agens kemoterapi, radioterapi, imobilitas
Tujuan : pasien mempertahankan integritas kulit
Intervensi :
1). Berikan perawatan kulit yang cemat, terutama di dalam mulut dan daerah perianal
Rasional : karena area ini cenderung mengalami ulserasi
2). Ubah posisi dengan sering
Rasional : untuk merangsang sirkulasi dan mencegah tekanan pada kulit
3). Mandikan dengan air hangat dan sabun ringan
Rasional : mempertahankan kebersihan tanpa mengiritasi kulit
4). Kaji kulit yang kering terhadap efek samping terapi kanker
Rasional : efek kemerahan atau kulit kering dan pruritus, ulserasi dapat terjadi dalam area radiasi pada beberapa agen kemoterapi
5). Anjurkan pasien untuk tidak menggaruk dan menepuk kulit yang kering
Rasional : membantu mencegah friksi atau trauma kulit
6). Dorong masukan kalori protein yang adekuat
Rasional : untuk mencegah keseimbangan nitrogen yang negative
7). Pilih pakaian yang longgar dan lembut diatas area yang teradiasi
Rasional : untuk meminimalkan iritasi tambahan
f. Gangguan citra tubuh berhubungan dengan alopesia atau perubahan cepat pada penampilan
Tujuan : pasien atau keluarga menunjukkan perilaku koping positif
Intervensi :
1). Dorong anak untuk memilih wig (anak perempuan) yang serupa gaya dan warna rambut anak sebelum rambut mulai rontok
Rasional : untuk membantu mengembangkan penyesuaian rambut terhadap kerontokan rambut
2). Berikan penutup kepala yang adekuat selama pemajanan pada sinar matahari, angin atau dingin
Rasional : karena hilangnya perlindungan rambut
3). Anjurkan untuk menjaga agar rambut yang tipis itu tetap bersih, pendek dan halus
Rasional : untuk menyamarkan kebotakan parsial
4). Jelaskan bahwa rambut mulai tumbuh dalam 3 hingga 6 bulan dan mungkin warna atau teksturnya agak berbeda
Rasional : untuk menyiapkan anak dan keluarga terhadap perubahan penampilan rambut baru
5). Dorong hygiene, berdan, dan alat alat yang sesuai dengan jenis kelamin , misalnya wig, skarf, topi, tata rias, dan pakaian yang menarik
Rasional : untuk meningkatkan penampilan

http://hidayat2.wordpress.com/2009/04/11/askep-tumor-colli/